Seni dan Hiburan di Penjara Orde $uharto

Hersri Setiawan

SENI DAN HIBURAN DI PENJARA ORDE $UHARTO

Tefaat Buru Sebagai Antitesis

SEPERTI namanya telah menyatakan, Pulau Buru merupakan tempat pemanfaatan (tefaat) tapol. Atau lebih jelas jika dinyatakan secara terbalik: tempat tapol dimanfaatkan. Apabila ketika masih di penjara, tapol hanya dikurung di dalam sel, maka di tempat pemanfaatan ini mereka justru “dilepas”. “Dibiarkan” mereka itu hidup di tengah-tengah keganasan alam, untuk dibebani dengan seribu satu “harus” dan diawasi oleh intaian berpasang-pasang mata sangkur dan laras senjata. Kendati demikian Buru sebagai tempat pemanfaatan lebih memberikan kemungkinan bagi tangan-tangan penciptaan tapol untuk berkiprah.

Tapol di Indonesia Orde Baru kira kira bisa diperbandingkan dengan budak budak peradaban dunia sepanjang sejarah bangsa mana saja. Dari tangan budak-budak ini berdirilah monumen monumen seperti Borobudur (Jawa), Tembok Besar (Tiongkok), piramida (Mesir), dan lain sebagainya. Monumen monumen perkosaan kemanusiaan, tetapi bukan nya tanpa nilai nilai keindahan dan
kebesaran yang menjadi abadi dalam sejarah.

“Engkau menciptakan malam, dan aku membikin pelita
Engkau menciptakan tanah liat, dan aku membikin tembikar
Engkau menciptakan gurun pasir, gunung gemunung, dan hutan belukar
Dan aku membuka sawah, ladang, dan kebun buah buahan
Aku lah yang mengubah batu menjadi cermin
Dan aku lah juga yang mengubah racun jadi penawar.”

Apa yang dikatakan Iqbal [1873-1938] benar belaka. Daya kreasi dan inovasi manusia sungguh luar biasa apabila kesempatan untuk itu dimungkin kan. Di penjara Salemba, dengan bahan segala macam sampah dan batu sebagai alat, tapol bisa membikin berbagai-bagai macam barang. Kaleng susu cap bendera menjadi kompor minyak atau lilin, kantong plastik menjadi tas dan bahan pengganti kertas atau lebih tepat “lontar”, sendok alpaka atau kawat sling derek kapal menjadi jarum akupungtur, tulang dan batok kelapa menjadi pipa rokok, pecahan kaca menjadi pisau cukur, sisa-sisa gombalan menjadi hasil kerajinan sulaman warna-warni yang indah, dan lain-lain nya lagi. Semua itu tanpa alat, kecuali tangan, dan barang barang yang dapat ditemukan di sekeliling!

Seperti sudah dikemukakan, di Buru kesempatan berkreasi menjadi lebih luas. Oleh sebab itu sudah di dalam bulan-bulan pertama, di setiap unit orang bisa mendengar suara suling, petikan kecapi, gesekan biola atau petikan gitar; mendapati barang barang anyaman dari bambu, pandan, atau rotan; ukiran kayu dengan berbagai gaya pola desain. “Tai pun kalau sudah dicat oleh tangan tapol, tonwal akan berebut memilikinya!” Itu kata kata Kapten Ahmad Nur, Dan Unit XIV Bantalareja, yang aku dengar dan aku tulis secara harfiah belaka. (Ketika itu aku Koordinator Unit XIV).

Tetapi yang lebih mencolok dari semuanya itu, ialah terbukanya berpuluh puluh hektar sawah dan ladang unit, di sampiug berpuluh puluh hektar lagi kebun kebun barak di tengah hutan, yang tetap tersembunyi dari tilikan dan intaian mata penguasa.

Semua nilai itu dihasilkan tapol. Pada satu pihak, di celah-celah intaian mata penguasa yang tajam dan ganas; dan pada pihak lain, di sela-sela kesempatan yang terlalu sempit, yaitu pada saat istirahat kerja siang hari, yang hanya sekitar tiga puluh sampai enam puluh menit lamanya. Kelak, jika tefaat telah berumur sekitar lima tahun, dan cara pemanfaatan tenaga tapol sudah menjadi lebih canggih, kelonggaran kelonggaran tertentu dirasa perlu diberikan bagi tapol. Pada wartu itulah tapol semakin berkiprah. Lalu terciptalah berbagai “penemuan” dan pembaharuan atas perkakas dan cara kerja, seperti misalnya: penggilingan padi, pemipil atau perkakas penanggal biji-biji jagung dari tongkol nya, blower, gerobak angkutan, pipa leding dari bambu, dan lain lainnya lagi. Pada satu pihak demi kelangsungan hidup, efisiensi memang menjadi tuntutan wajar; namun pada lain pihak, efisiensi itu sekaligus juga membawa konsekuensi pelipat gandaan intensitas penindasan. Dan bagi tapol ini tidak lain hanya ibarat menggali lubang kubur diri sendiri. Karena itu
tidak setiap tapol bersikap positif terhadap setiap usaha penemuan dan pembaharuan tersebut.

Seni dan Hiburan Sebagai Aspek Pemanfaatan

SEMUA unit di Tefaat Buru, kecuali unit isolasi Jiku Kecil yang sesudah dipindah (1974) dikenal sebagai “Unit Ancol” [karena dibangun di daerah pasang laut], mempunyai gedung kesenian masing masing. Memang dinamai “gedung”, walaupun bagi saya lebih mendekat kan ingatan pada bangunan “BaleSigalagala” (balai bambu; galah = bambu), tempat keluarga Pandawa dan Kurawa bermain dadu, awal malapetaka ketika Pandawa harus dibuang selama tiga belas tahun! Gedung Kesenian lama Unit IV Savanajaya, sebelum “gedung” yang baru didirikan tahun 1974, memang dijuluki oleh tapol setempat sebagai “Kandang Sapi”, entah karena kemiripan bentuk nya dengan kandang sapi, atau karena letak nya yang tak jauh dari Barak Kandang Sapi.

Bagaimanapun juga “gedung” kesenian di unit-unit itu dilengkapi dengan panggung, bangku bangku tempat duduk untuk lebih dari 500 penonton, dua perangkat gamelan Jawa slendro dan pelog, dan layar layar dekor untuk pementasan “drama modern” dan “drama tradisional”, yang terbikin dari bahan semacam sisal bekas bekas kantung pupuk. Semuanya dibangun dan dibikin oleh tapol, rata rata sudah dalam tahun pertama atau kedua umur unit yang bersangkutan.

Wayang kulit semula hanya ada di Unit IV Savanajaya, kemudian dipindahkan ke Markas Komando (Mako) Tefaat, mengikuti di mana Ki Dalang Tristuti Rachmadi Suryoputro BA berada. Dalang yang berasal dari Purwadadi Jawa Tengah, dan Sekretaris Lekra Cabang Purwadadi ini, pernah diberi gelar dan hadiah dalang terbaik Indonesia oleh Festival Pedalangan se Indonesia 1964.

Berbeda dengan gamelan yang terdapat di semua unit, instrumen musik “lengkap” untuk sebuah band hanya terdapat di Mako. Konon hadiah dari Departemen Sosial Jakarta untuk Tefaat Buru, yang terjadi pada akhir masa jabatan Kol. AS. Rangkuti selaku Dan Tefaat Buru. Beberapa instrumen musik yang terdapat di unit unit merupakan bikinan dan milik perseorangan tapol di barak barak, cukup untuk membentuk sebuah orkes kroncong atau irama Melayu dan irama Padang Pasir (sekarang dikenal sebagai dangdut).

Pada akhir masa jabatan Komandan Tefaat Buru (Dan Tebu) Kolonel AS. Rangkuti (1973), komando tefaat membentuk sebuah kelompok musik yang dinamai “Band Markas Komando” (Bandko), di bawah pimpinan Basuki Effendy dan Subronto Kusumo Atmodjo. Pada awal masa jabatan komandan berikut (Kol. Samsi MS), pengelompokan tapol atas dasar “profesi” itu diperluas dan dimantapkan. Yaitu dengan ditempatkan nya kelompok kelompok tersebut di dalam barak barak yang dibangun di kompleks bangunan Mako. Dengan demikian tapol tapol “profesi” ini, sejak itu, di bawah pemanfaatan dan pengawasan Mako, dan tidak lagi unit asal masing-masing yang bersangkutan.

Kelompok kelompok “profesi” itu ialah: “kelompok insinyur”, yaitu sebutan untuk kelompok tapol yang bertugas sebagai staf tata usaha Mako, di mana terdapat beberapa insinyur bangunan dan pertanian; “kelompok kru”, yaitu crew atau “awak kapal” sampan bermotor milik Mako; kelompok karawitan dan pedalangan Jawa; kelompok pelukis, di mana terdapat antara lain pelukis-pelukis Permadi Lyosta (dari sanggar “Pelukis Rakyat” Yogyakarta, yang didirikan oleh Hendra Gunawan dkk), Sumardjo (dari sanggar “Seniman Indonesia Muda”, yang didirikan oleh Affandi dan S. Sudjojono), Gultom (dari sanggar “Bumi Tarung”, yang didirikan oleh Amrus Natalsya); kelompok tukang dan perajin – terutama kerajinan ukiran kayu.

Pada sekitar waktu itu jugalah Pramudya Ananta Toer dipisahkan dari kawan-kawannya di unit, dan diperlakukan serta ditempatkan di ruang tersendiri. Mula-mula di gedung kesenian Unit I Wanapura, dan selanjut nya di kompleks Mako sesudah markas ini pindah dari Namlea ke tepi Sungai Wai Apu, di areal antara Unit I Wanapura dengan Unit II Wanareja. Tugas pokok yang dibebankan penguasa pada Pramudya ialah menulis dan menulis saja.

Kolonel Samsi MS yang cerdik itu juga mengubah “budaya militer” menjadi “budaya budak”. Perubahan yang dalam praktik seakan-akan memberi angin kepada tapol, tapi dalam hakikat sesungguhnya justru lebih busuk. Misalnya dalam hal apel. Dia berkata kurang lebih:

Prinsip apel ialah menghitung kekuatan tenaga kerja manusia, dalam hal ini tapol. Karena itu tidak harus dengan baris berbaris dan berhitung secara militer. Cukup dengan apel kentongan atau “apel sapi” (sic!). Ini menghemat waktu. Supaya mereka segera bisa ke tempat kerja masing masing, dan memulai pekerjaan yang sudah digariskan. Karena, justru untuk inilah tapol dibawa ke Buru. Untuk dimanfaatkan. Kecuali itu, masih kata Kolonel Samsi MS, apel sapi juga untuk menghindari kesalahan dalam baris berbaris atau berhitung dan akibat-akibatnya, yaitu pemukulan dan penyiksaan oleh petugas terhadap tapol. Padahal wajar saja jika tapol tidak pandai berbaris, karena mereka memang bukan tentara. Lalu kalau mereka disiksa, jatuh sakit, masuk rumah sakit, dan tidak bisa bekerja siapa yang rugi? Proyek Tefaat! Dan siapa yang harus bertanggungjawab ke Pusat? Bukan Tonwal (Peleton Kawal), bukan Dan Unit, tetapi saya!

Oleh karena itu para Dan Unit dan Tonwal memberi kepanjangan huruf-huruf “MS” di belakang nama Dan Tebu ini sebagai “Menang Sendiri”. Samsi yang mau Menang Sendiri. Tetapi toh sedikit lebih baik ketimbang pendahulu nya: Rangkuti, yang kependekan dari “Barang Barang Diangkuti”.

Tarik Tambang Dengan Seni Dan Hiburan

PADA saat saat tertentu rombongan karawitan dan pedalangan dan bandko tersebut mendapat perintah untuk menghibur para petugas Mako, dan setiap dua atau tiga bulan sekali berkeliling ke unit unit untuk memberi hiburan bagi tapol dan petugas di sana. Tema pergelaran ditentukan sebelumnya, dan “balungan” lakon harus diajukan jauh jauh hari ke Staf I/Intelijen Mako. Ketentuan yang sama berlaku juga bagi teks-teks lagu yang akan dinyanyikan. Karena itu maka dalam pandangan sementara tapol kegiatan seni atau hiburan seperti ini merupakan kegiatan yang sia-sia belaka. Lebih dari itu bahkan ada yang menilainya sebagai perbuatan khianat. Sia sia, oleh karena paling jauh hanya nilai hiburan yang bisa dicapai. Khianat, oleh karena hiburan bagi tahanan, seperti istilah itu sendiri sudah menjelaskan, hanya berarti sikap menipu diri sendiri. Dan itu tidak lain selain sikap hipokrisi terhadap realitas belaka. Kegiatan hiburan di dalam kamp, demikian mereka menyimpulkan, hanyalah kegiatan pengabdian kepada musuh.

Memperhatikan penalaran demikian itu, aku ingat sebuah novel “Exodus” (Leon M. Uris, 1958), yang kubaca ulang ketika aku di tahanan “Ikan Paus” di Cilandak. Di dalam novel itu dikisah kan tentang bagaimana orang orang Yahudi di kamp kamp tahanan mereka mengisi “waktu kosong”. Misalnya, bermain teater sebagai payung latihan kemiliteran, latihan menyanyi bersama sebagai payung pendidikan ideologi, dan berbagai bagai cara kerja konspiratif lainnya. Tetapi, bantahku sendiri, novel mempunyai realitas nya sendiri. Suatu realitas yang terkadang jauh dari realitas kongkret, justru karena alasan kebebasan kreasi itu.

Tapol mempunyai istilah istilah khusus untuk berbagai kegiatan hiburan atau seni itu. Beberapa di antaranya ialah: “korve gurung” atau “korve kerongkongan” untuk menyanyi; “korve besi” untuk menabuh gamelan; “korve kawat” untuk bermain musik, karena sebagian besar instrumen berupa instrumen petik dan gesek yang bersenar kawat; “korve mata” untuk tapol penonton; “korve keplok” untuk bertepuk tangan, karena setiap nomor acara berakhir, tapol penonton wajib bertepuk tangan. Kecuali itu ada lagi yang di sementara unit dikenal sebagai (maaf beribu maaf!) “korve lendir” (maksudnya sperma), ini untuk tapol “tandak” yang mendapat tugas Komandan untuk menemani tidur di wisma, entah bersama dirinya sendiri atau jika ada tamu dari “pusat”.

Bahwa semua sebutan itu didahului dengan kata korve, yang sebagai jargon penjara memperoleh arti lebih tegas, yaitu kerja wajib di luar jam kerja (barang tentu tanpa upah), adalah petunjuk bahwa tapol sadar akan adanya ketidak bebasan itu.

Namun, apa pun hasil akhir yang akan dicapai, apakah bernilai seni ataukah bernilai hiburan, bagi para seniman dan pemain yang bersangkutan khususnya, kegiatan kegiatan yang mereka lakukan itu sama sekali bukannya tidak bermanfaat. Sebab dengan jalan demikian mereka bisa mempertahankan, bahkan tidak mustahil mengembangkan kemampuan teknis masing-masing. Kecuali itu hendaknya diingat, bahwa betapapun bengisnya sesuatu sistem kekuasaan menindas kebebasan berkreasi, namun tidak akan pernah ia mampu menumpas seniman dan karya mereka sama sekali. Sebab, hanyalah cara dan bentuk kreasi bisa ditindas. Tetapi isi dan proses kreasi tidak.

Seni tidak hanya lahir di bawah terang kandil kandil istana dan gereja. Juga dalam gelapnya penindasan seni bisa lahir. Dan seni yang lahir dalam kegelapan itu akan tetap seni juga, sebagaimana intan yang keluar dari mulut anjing sekali pun, tidak akan berubah menjadi beling.Tidakkah dari haribaan Dewi Amaterasu Omikami, yang di Indonesia mengejawantah sebagai militerisme Jepang, telah lahir malinkundang malinkundang bernama Chairil Anwar, Cornel Simandjuntak pelopor musik Indonesia baru, Dr.Huyung pelopor pembaharu seni pentas dan film? Tidakkah periode “remuk rusak” (sebutan sarkasme rakyat untuk “romusha”) telah menggugah kembali ingatan orang kepada wayang beber yang telah lama tertimbun sejarah, dan yang pada giliran nya mengilhami penciptaan wayang suluh, wayang revolusi, wayang pancasila, wayang wahyu, dan semacam nya?

Seni dan Pertandakan Penjara Dunia Abnormal?

SELAIN kalangan tapol yang bersikap menentang kegiatan seni dan hiburan atas dasar ideologi dan politik seperti tersebut di atas, ada lagi kalangan tapol lain lagi, yang mencari cari dalihnya pada alasan moral (dalam hubungan ini perlu dipertegas lagi: “moral komunis”!).

Adanya kegiatan panggung, kata mereka, berarti membuka lahan subur untuk lahirnya tandak tandak. Dan perihal pertandakan ini, bagi pandangan tapol komunis-sok-moralis yang menilai diri sendiri (yang komunis) sebagai supermen itu, mendapat cap moral yang terburuk dari segala yang buruk: moral feodal, moral burjuis, moral kriminil! Selanjutnya mereka juga mengatakan (yang untuk sebagian memang benar), bahwa pertandakan akan mengakibatkan banyak terjadinya perkelahian antartapol, bacok bacokan, pencurian, dan seribu satu akibat akibat buruk lainnya. Namun dari semuanya itu, masih menurut kata mereka, akibatnya yang terakhir dan terpenting ialah, bahwa “kontradiksi pokok tapol vs. penguasa akan bermutasi kepada kontradiksi non pokok antartapol.

Tapol-tapol komunis-sok-moralis itu memang pandai merakit rumusan teoretis. Tapi lupa (ya, mudah mudahan hanya “lupa”, dan bukan karena tidak mau tahu) pada kenyataan. Misalnya: (1) bahwa salah satu unit yang berpenghuni 450 tapol (yaitu Unit V Wanakarta), dengan frekuensi hiburan tidak lebih dari unit-unit lainnya, toh mempunyai tandak tak kurang dari 70 pasang; (2) bahwa ada Komandan di sebuah unit (Unit XVII Argabhakti) yang membentuk barisan “dara-dara” Sabang Merauke Bhineka Tunggal Ika; (3) bahwa ada Komandan atau Wadan (Wakil Komandan) di sementara unit, yang “memelihara” tapol tandak di wisma mereka; (4) bahwa ada pula Komandan Unit yang, berkongsi dengan perempuan penduduk setempat, yang dikenal bernama Ibu Fatimah (Unit III Wanayasa dan Unit IV Savanajaya), membuka usaha pelacuran di kawasan unit mereka; dan bahwa (5), inilah yang lebih penting lagi, tandak tidak tiba-tiba lahir sesudah di Buru, tetapi sudah ada sejak tapol masih hidup dikurung di dalam sel siang dan malam di kamp-kamp di Jawa.

Pendek kata, hendak lah diketahui, bahwa umur pertandakan tidak semuda umur bangunan penjara. Di jaman Ratu Sima (abad ke-4M) di Jepara, Pulau Jawa belum punya rumah penjara. Tapi, dalam Kitab Perjanjian Lama, kisah Sodom-Gomorah sudah mendapat tempat untuk ditulis, selagi Kitab Kejadian baru sampai pada ayatnya yang ke-19.

Pertandakan bukanlah sisi atau gejala moral feodal, atau burjuis, atau kriminil, atau ketiga-tiganya menjadi satu sekali pun! Tidak. Ini adalah aspek cinta dalam situasi dan kondisi khusus, yang bisa tumbuh pada manusia sembarang — dari mana pun “asal klas”-nya.

Gejala pertandakan di penjara dan di kamp pengasingan mana saja, bukan terdorong oleh nafsu syahwat, sebagai bentuk primordial hasrat melangsungkan jenis. Tapi terutama lebih disebabkan oleh tuntutan naluri dasar yang Iain, baik sebagai Manusia (“biological animal”) yaitu hasrat untuk mencinta dan dicinta, maupun sebagai Orang (“political animal”) yaitu kerinduan akan kebebasan. Bebas untuk membisikkan keluh kesah serta impian diri antara sesamanya.

Sesama tapol di Buru memberikan cap kepada kawan kawan mereka yang terlibat kehidupan pertandakan itu sebagai menderita “sakit mata”. Perhatikan kata “sakit” itu. Oleh karena “sakit mata” mereka, maka mereka lalu tidak lagi bisa membedakan antara laki laki dan perempuan, dan akibatnya jadilah mereka tandak. Bahwa cap yang lazim berlaku bersifat negatif, itulah pertanda tentang betapa dominan pandangan golongan moralis tersebut di atas. Dominasi ini pada giliran nya mendapat legitimasi ideologis dan politis, dengan melalui campur tangan sistem kekuasaan yang mengeksploitasi situasi ketergantungan atau kehampaan jiwa sejumlah tapol yang bersangkutan.

Sementara itu pengaruh budaya militer tidak hanya terbatas pada tapol di unit-unit. Tetapi bahkan juga meluas di kalangan bocah-bocah lepas balita, anak-anak penduduk setempat di sekitar unit. Mereka ini tidak lagi bermain latih menumbak sasaran berupa buah jeruk yang digantung atau
digelindingkan, tapi bermain perang-perangan dengan bedil-bedilan kayu atau bambu. Tokoh komandan dan tentara menjadi tonggak acuan bagi dunia angan-angan mereka tentang hari depan. (Lebih lanjut lihat sumbangsih saya dalam “Perjalanan Anak Bangsa”; LP3ES 1982: 296-300).

Goyahnya Dimensi Simbol

DI BURU sensor militer terhadap hasil daya cipta tapol, baik di atas panggung hiburan maupun di tengah tempat kerja berlaku sangat keras. Dengan sekedar bertujuan untuk memperlihatkan kekuasaan, dan atas dasar itu menjatuhkan hukuman bagi tapol yang bersangkutan, terkadang sesuatu alasan terasa benar benar diada ada saja. Di bawah ini beberapa contoh.

Basuki Effendy seorang aktor dan sutradara film. Salah satu film karyanya, “Si Pincang”, mendapat penghargaan internasional pada festival film di Praha awal 1960-an. Suatu hari ia dipermak, istilah tapol untuk “disiksa” sampai muka dan tubuh berubah bentuk. Apa jalarannya? Oleh karena ia menyanyikan lagu “Come Back To Sorento”. Bahwa lagu yang mengandung kata “come back” ini telah dipilih untuk dinyanyikan olehnya, itu lah “hint” yang hendak dilempar si penyanyi untuk mengkambekkan PKI!

“Apa itu kambek-kambekan, hah!?” Hardik Dan Unit XIV Bantalareja Lettu Sukirno, sambil memukuli Basuki seperti petinju menghadapi karung pasir.

Lie Bok Hoo dikipas, yaitu ditampari tak kunjung henti, sehingga gerak tangan si penampar seperti gerakan kipas. Ia dituduh menyerukan isyarat melarikan diri melalui lagu irama Melayu (sekarang “dangdut”) “Larilah, Hai Kudaku!” yang dinyanyikannya.

Sudarno As., Unit IV Savanajaya, guru Taman Siswa dan pemimpin Lekra Cabang Cilacap, penggubah beberapa tari kreasi baru (al. “Tari Kupu Kupu” dan “Menjala Ikan”) digulung oleh Tonwal. Ini istilah lain lagi untuk “disiksa” sampai tergulung-gulung. Ia dituduh mengadu domba Divisi Siliwangi dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Fakta yang dipakai sebagai alasan tuduhan, yaitu gunungan wayang kulit yang dibikinnya. Seperti diketahui, di dalam gunungan selalu terdapat rupa-rupa bentuk tatahan. Salah satu di antaranya tatahan yang melukiskan seekor harimau dan seekor banteng saling berhadap hadapan.

Sawal disiksa sampai retak tulang iganya, dan berbulan bulan menghuni rumah sakit, karena taman bunga yang (atas perintah Komandan Peleton) dibikinnya di depan wisma. Tanpa ia sendiri menyadari, ternyata guludan tanah untuk lahan tanaman bunga-bunga itu terdiri dari tujuh jalur guludan. Wadanton dan Mantri Tani alias Gusgastan (Gugus Tugas Pertanian) menafsirkannya sebagai tujuh gundukan kuburan Tuparev (Tujuh Pahlawan Revolusi).

Masih banyak contoh contoh lain semacam itu. Misalnya larangan penggunaan simbol-simbol yang berkonotasi dengan faham kiri, dan terlebih lebih dengan faham komunisme. Misalnya kata-kata bung, rakyat, kawan, arit, palu, panji, marhaen, gambar kepala banteng, bilangan tiga atau tri (ingat istilah “Tripanji Program PKI”), warna merah, lagu Blanja Wurung, Genjer-Genjer, dan banyak lagi.

Tetapi lebih dari semuanya itu, bahkan kata “sakit” atau “dingin” dilarang untuk menyatakan konsep tentang rasa sakit dan rasa dingin itu. Peristiwa berikut ini banyak terjadi pada hampir semua unit sekitar tahun-tahun 1971-1973. Tapol dengan keluhan sakit perut, tentu saja dengan maksud berobat, pergi ke “rumah sakit” unit. Barangkali memang sudah tertulis dalam skenario mereka, di rumah sakit, banyak kali terjadi tapol pasien tidak diterima oleh mantri kesehatan, tetapi oleh Wadan Unit atau atau Mantri Tani. Menerima si pasien duduk di kursi di depan mejanya, mengambil kartu berobat dari kotak penyimpannya, Pejabat Kuasa Mantri Kesehatan itu lalu memerintahkan si penderita sakit perut agar berdiri. Menduga akan segera diberi pel atau apa,
tanpa ragu si penderita berdiri. Tiba tiba bukan obat yang ditertimanya, tapi dihujaninya perut Tapol itu dengan tinju sang Mantri bertubi-tubi, sambil setiap kali dibarengi nya dengan guntur mantra-mantranya:”Mana sakit? Sini? Atau sini? Masih sakit?”Dan seterusnya dan seterusnya. Obat murah lagi cespleng itu baru berhenti diberikan (betapa dermawan nya, bukan?) jika si Tapol sendiri sudah mengaku sembuh dan menjawab: “Aduh sudah Pak! Sudah sudah sudah, Pak!” Teriaknya megap-megap.
“Sudah sudah, apa? Masih sakit atau sudah sembuh?”
“Sudah, Pak. Sudah sembuh …!”

Dan dengan jawaban yang terdengar itu, maka penguasa unit lalu memerintahkan si Tapol agar segera berlari, meninggalkan rumah sakit dan menuju ke tempat kerja. Mereka, dengan perintahnya itu tidak perlu lagi takut dituding oleh Palang Merah atau Amnesti Internasional, sebagai tidak berperikemanusiaan atau tidak pancasilais.

Tapol lain lagi pergi ke rumah sakit dengan keluhan dingin karena demam malaria. Obat murah yang diberikan Pak Mantri sebangsa buah simalakama, namun jauh lebih mujarab dari buah bernama sama yang dikenal di dalam dongeng Melayu. Simalakama dongeng Melayu jika dimakan ayah mati, jika tidak dimakan ibu yang mati. Tapi buah simalakama proyek kemanusiaan Buru (bukan dongeng!), dimakan atau tidak dimakan dia toh pasti mati. Buah itu berupa perintah: Berlari memutari lapangan apel yang kira kira satu setengah kali luas lapangan sepak bola. Si Tapol, ketimbang digebuk karena dituduh melawan perintah, memilih patuh. Lari dan terus lari, sampai akhirnya roboh dan pingsan. Atau, merasa tidak akan kuat berlari, si Tapol berhenti sebelum sepuluh langkah, dan kapitulasi. Menghadap Mantri Kesehatan yang menunggu di pinggir lapangan, didampingi satu dua Tonwal, bersikap sempurna, dan melapor:

“Lapor! Tidak dingin lagi Pak!” Serunya dengan suara gemetar, dan badan seperti melayang layang setengah mimpi. Mantri Kesehatan, si penemu brilyan resep anti-malaria ini, ternyata juga seorang yang pandai bermain kata. Sahutnya: “Dasar Abunawas! PKI! Pembohong! Pemalas!” Dan seribu satu kata sumpah serapah lainnya. Lalu, sambil mengancam kan tongkat pemukul nya, teriak: “Kerja! Kerbau pun harus kerja jika mau makan!”

Melihat Kambing Kawin

DI TENGAH bangunan penjara Salemba yang berbentuk tapel kuda itu terletak lapangan apel. Di situ lah dilakukan wajib salat jamaah bagi tapol yang Islam pada hari-hari tertentu, misalnya hari Jumat, hari raya kurban, Maulid Nabi, lebaran, dan lain-lainnya. Kecuali untuk ibadah dan peringatan keagamaan seperti itu, juga untuk peringatan dan upacara upacara sekuler. Misalnya wajib apel bendera bagi semua tapol pada hari-hari tertentu, seperti misalnya tanggal tujuh belas setiap bulan, Hari Pahlawan, Hari Abri, Hari Kesaktian Pancasila, dan semacamnya.

Tetapi kecuali untuk keperluan ibadah keagamaan, ibadah politik dan ibadah ideologi seperti itu, pada sore hari lapangan ini juga digunakan untuk wajib berekreasi. Wajib bermain bola tangan dan bola voli bagi tapol yang sudah bebas isolasi, dan lebih dari itu, mereka yang nama namanya terpanggil untuk ikut acara rekreasi tersebut. Bebas isolasi dalam dunia kehidupan tapol berarti, bahwa tapol yang bersangkutan sudah diperbolehkan “bergaul” dengan sesama kawannya, dan tidak harus terus menerus seorang diri berada di dalam sel yang selalu terkunci.

Jika sedang kosong dari kegiatan tapol, lapangan hijau sekitar setengah hektar persegi ini menjadi tempat kegiatan kambing kambing milik pembesar penjara melangsungkan jenisnya: merumput atau menetek (bagi yang masih cempe), berkelahi dan kawin. Dalam hal nafsu kawin kambing jantan ternyata tidak kenal surut sepanjang musim. Beda misalnya dengan anjing atau kucing yang mempunyai daur musim birahi, yaitu dalam mangsa mangsa ketujuh [kira-kira minggu terakhir Desember sampai paroh minggu pertama Februari], dan mangsa ke sembilan [yaitu awal Maret sampai paruh pertama minggu terakhir bulan ini]. Pantaslah, terhadap orang laki laki yang gemar kawin, bahasa Melayu mempunyai ungkapan perbandingan “seperti bandot”. Bandot ialah kambing jantan yang berjenggot panjang. Walaupun begitu salah satu lukisan terbaik S. Sudjojono diberinya berjudul “Sayang Aku Bukan Anjing”, bukannya “Sayang, Aku Bukan Kambing”.

Sore hari, saat menunggu ransum air dan jatah makan kedua dan yang terakhir, terkadang pintu sel dibuka. Dan tapol tapol dibiarkan “bermain” di halaman blok. Masing masing tapol berbeda-beda cara mereka memanfaatkan kesempatan mahal demikian itu: Mengisi penuh-penuh paru-paru dengan udara segar, memanaskan darah dengan berjalan jalan cepat di seputar halaman blok, mencari puntung dan mengumpulkan sisa-sisa tembakau dari dalam nya, mencari tulang atau tempurung kelapa di timbunan sampah untuk dibikin pipa rokok, mencari sampah-sampah plastik untuk dipilin dan dianyam menjadi tas, dan berbagai macam ulah kegiatan lainnya. Ada pula sementara mereka yang lebih suka berdiri berkerumun, di depan jeruji pintu blok selebar lk. 75 cm yang tetap terkunci itu, dan mata mereka tertuju ke arah lapangan sana. Apa yang mereka lihat? Melihat kambing kawin!

Entah oleh prakarsa tapol-tapol pekerja dapur umum penjara yang iseng, atau karena perintah pembesar penjara, tapi tiba-tiba pemandangan di lapangan ternyata berubah. Pada suatu hari semua kambing betina tampak mengenakan “kain”, dari bahan bekas kantung pupuk urea atau bulgur. Maksudnya barangkali semacam hendak memberlakukan konsinyes kawin terhadap kambing kambing itu, agar dengan demikian tapol tapol tidak berkerumun di depan pintu blok sembari bersorak sorai. Tetapi ternyata sebaliknyalah yang terjadi. Bandot-bandot yang terkena wajib KB itu justru menjadi semakin agresif terhadap betina mereka. Dan tapol-tapol pun, yang bertahun tahun telah dipaksa berwadat dari segala bentuk hasrat birahi itu, semakin bertambah riuh derai-derai tawa mereka.

Adegan tragi-komedi sejatinya terjadi.

Bukan saja bagi para kambing yang dipaksa ber-KB, tapi juga bagi para tapol. Gara-gara kambinglah, kemanusiaan menyuraki manusia. Inilah kiranya pelajaran kearifan kedua yang pernah diberikan oleh kambing kepada manusia. Pelajaran pertama ditangkap oleh Dewi Setyawati dari atas pancaka, di tengah tengah alun-alun Malwapati. Begitulah konon menurut cerita tutur Prabu Anglingdarma, atau dalam bentuk tertulis, dalam serat petikan berjudul Kitiran Mancawarni, dari naskah Mangkunegara IV (Albert Rusche & Co. Solo, 1898).

Wayang Kandha dan Orkes Plastik

ADA tiga hari di dalam satu minggu keluarga tapol diperbolehkan mengantar kiriman ke penjara. Itulah yang dinamai orang-orang penjara sebagai hari-hari besukan (Belanda: “bezoek” = kunjungan).

Tapol boleh dibesuk apa saja, kecuali apa-apa yang termasuk sebagai “barang konsinyes’. Barang konsinyes itu misalnya alat tajam (termasuk pemotong kuku), korek api, bahan bacaan, alat tulis menulis (termasuk kertas penggulung rokok; pengganti kertas rokok yang tidak termasuk barang konsinyes ialah klobot atau daun kaung), alat rekreasi (termasuk kartu domino), dan apa lagi alat-alat komunikasi. Oleh karena itu semua tas besukan harus dikirim melalui loket penjaga penjara. Para petugas akan memeriksa barang-barang di dalam tas besukan satu demi satu. Nasi, sayur, dan gulungan rokok pun akan diaduk-aduk dan dibongkar-bangkir. Petugas juga akan “mencukai” barang-barang besukan keluarga tapol itu, menurut selera dan kebutuhan mereka, sebelum diteruskan kepada yang berhak di blok tapol yang bersangkutan. Sampai di blok-blok, para petugas blok akan mencukainya lagi, juga menurut selera dan kebutuhan mereka. Dan baru sesudah itulah tas besukan bisa diterimakan kepada tapol, yang tidak jarang tinggal berupa tas kosong belaka! Praktek cukai mencukai barang besukan tapol G3OS/PKI tahun 1965 seperti ini juga dialami oleh tapol Peristiwa Madiun tahun 1948 dahulu. Karena itu KMK (Komando Militer Kota), sebagai instansi yang ketika itu mengurusi barang besukan, lalu mendapat makna dan kepanjangan baru: Kumpulan Maling dan Kecu (Jaw.: kecu = garong).

Cerita tentang cukai-mencukai di atas ternyata belum habis sesudah barang besukan diterima tapol yang bersangkutan. Sesudah jam besukan lewat, dan di dalam sel masing masing tapol dalam kelompok riungannya sendiri-sendiri sedang hendak menikmati besukan keluarga, datanglah dua atau tiga orang aparat blok. Mereka membawa ember-ember plastik, dari pintu sel satu ke pintu sel lain, untuk mengumpulkan apa yang dinamakan sodakoh. Kalau cukai-cukai oleh para petugas penjara dan aparat blok, ketika barang besukan belum sampai di tangan tapol yang berhak, boleh disebut sebagai cukai tidak resmi, maka cukai besukan oleh aparat blok ketika sisa besukan sudah di dalam sel tapol yang berhak, ini boleh disebut cukai “secara resmi’. Cukai resmi ini diminta atas dasar “kesadaran” dan “keikhlasan”, sebagai penyataan “solidaritas” terhadap sesama tapol yang oleh berbagai alasan tidak pernah, atau tidak lagi menerima besukan dari keluarga mereka.

“Malam Kesenian” Antar-Sel

BEREKREASI dan berkreasi memang tidak selalu bergantung kepada alat. Juga pelaksanaan nya tidak selalu harus bersama-sama di dalam satu ruangan yang sama, tetapi bisa juga dari berbagai ruangan sel yang terletak berpencaran. Pada petang hari lepas besukan itu lah biasa “malam kesenian” atau “malam hiburan” di blok-blok tertentu berlangsung. Tentu saja dengan mengingat suasana keamanan blok khususnya dan seluruh penjara umumnya.

Salat isya adalah salat terakhir dalam satu hari bagi umat Islam. Karena itu, dalam kehidupan penjara, waktu isya seakan akan merupakan batas antara hari dan malam, dan batas antara hari ini dengan hari esok. Waktu lepas isya, biasanya serdadu serdadu penjaga akan lebih banyak berada di pos masing-masing. Di atas menara-menara jaga, atau jauh di ruang jaga di depan sana. Maka bagi tapol penghuni blok yang mungkin berekreasi, misalnya karena letak nya yang jauh dari pos jaga, dan di dalam blok dapat dipastikan tidak ada tapol cecunguk seorang pun, ketika itulah saat nya malam hiburan dimulai.

Jika hiburan yang direncanakan berupa pergelaran lakon wayang, maka Ki Dalang, sambil berdiri berpegangan jeruji jeruji di belakang pintu sel, akan mengimbau dukungan kawan-kawan nya dari sel-sel lain. Mereka itu ialah para “niaga”, atau tepatnya para penyuara gending gamelan, kendang, gong, pesinden, dan penggerong. Sesudah itu ia akan mengumumkan lakon yang hendak dipergelar kan, lalu disusul dengan imbauan nya yang kedua. Imbauan kali ini ditujukan kepada mereka yang baru menerima besukan, agar supaya bersedia memberi sodakoh atau “kondisi” suka rela bagi para pelaksana pergelaran. Istilah “kondisi” dalam arti “upah tanggapan untuk pergelaran lakon”, bukan kosakata baru dan bukan pula jargon tapol. Tapi sudah lazim digunakan di daerah Klaten Jawa Tengah sejak tahun 1960-an. (Lihat juga Victoria M. Clara van Groenendael: “Dalang Di Balik Wayang” [terj. Hersri], Grafitipers 1987). Menyambut imbauan kondisi itu, dari sel sana-sini akan berlemparan bungkusan-bungkusan plastik gula kopi, gula merah, singkong dan ubi rebus, tembakau mole atau tembakau hitam, satu-dua batang rokok kretek. Semuanya jatuh di depan pintu sel Ki Dalang. Pada giliran nya Ki Dalang akan membagi-bagi dan melemparkan nya ke depan pintu sel sel para pembantu pelaksana pergelaran.

Lakon biasanya cerita carangan atau fragmen dari lakon baku yang melukiskan kegagahan atau kepahlawanan (misalnya: Senggono Obong, Gatutkaca Gugur, Kikis Tunggarana, dan lain lain), kemenangan sementara tipu muslihat (Kresna Kembar, Pendhawa Dhadhu, dan lain-lain), salah urus akibat salah duduk (Prabu Bel Geduwelbeh atau Petruk Jadi Raja, dan lain-lain). Demikian juga dalam hal pergelaran teater rakyat, yang disuka lakon-lakon semacam Untung Surapati, Arya Panangsang, Sakerah, Macan Kemayoran, Layang Seta Layang Kumitir, dan lain-lain.

Prosedur yang sama dilakukan dalam hal pergelaran musik. Orkes Plastik mereka menamainya. Karena instrumen yang dominan ialah ember-ember plastik. Pengambil prakarsa terlebih dahulu mencari pemain, membagi tugas, mengimbau sodakoh (dalam hal ini kata “kondisi ” tidak digunakan), dan membagi bagi sodakoh itu kepada para pemain. Bedanya, jika pergelaran wayang dan teater sepenuhnya beralat mulut, maka dalam hal pergelaran musik (kecuali penyanyi tentu saja) menggunakan berbagai macam “instrumen”, seperti: sendok dan ompreng, sapu lidi dan lantai sel, kayu pemukul dan jeruji sel, ember ember plastik baik yang berdawai maupun yang tanpa dawai. Dawai ini berupa elastik atau karet kolor celana.

Dalam urutan preferensi yang dimainkan, yaitu lagu-lagu yang biasa disebut jenis keroncong (termasuk langgam keroncong), dangdut (ketika itu masih berupa dua genre yang masing-macing lebih populer dengan sebutan “Irama Padang Pasir” dan “Irama Melayu”), dan sedikit lagu-lagu jenis hiburan. Lagu-lagu untuk paduan suara yang, menurut Bung Karno, kebanyakan “berirama berdentam dentam” itu tidak pernah diperdengarkan. Barangkali atas pertimbangan “kewaspadaan politik”, agar tidak dituduh sebagai “revolusioner kepala batu”. Lagu himne “Rayuan Pulau Kelapa” (Ismail Mz.) dan “Nyiur Hijau” (Maladi), biasanya dimainkan sebagai lagu penutup acara. Adapun jenis ,jenis lagu yang tergolong seriosa, seperti “Kemuning” (Cornel Simandjuntak/Sanusi Pane), “Lagu Biasa” (Chairil Anwar/Amir Pasaribu), “Gadis Gunung” (Sudharnoto), ternyata hampir tidak mendapat tempat sama sekali. Suatu tanda bahwa di masa lampau, pekerjaan PKI dan ormas kebudayaan progresif (khususnya Lekra dan sedikit banyak juga LKN) di bidang seni musik belum menyeluruh. Sekalipun Wakil Ketua II CC PKI Njoto, di depan para sastrawan dan seniman Lekra, telah berulang ulang menegaskan, agar mereka “tahu segala tentang sesuatu dan tahu sesuatu tentang segala”. Atau, apakah jenis lagu seriosa memang dipandang bernada elitis, sehingga tidak perlu dikembangkan? Tapi salah satu sajak Njoto (di bawah nama Iramani; dalam hubungan ini perhatikan juga kata “irama” itu!) yang ditulisnya untuk Patrice Lumumba yang mati dibunuh, “Merah Kesumba” (1961), diberi notasi musik oleh Amir Pasaribu untuk jenis lagu seriosa. Di samping itu, bukankah Akademi Seni Musik CC PKI diberi nama tambahan WR Supratman, nama komponis lagu kebangsaan?

Sastra Lisan

BAGAIMANA dengan sastra lisan? Berpantun-pantunan tidak pernah terdengar di penjara, kecuali dinyanyikan sebagai syair lagu Melayu menurut pola nyanyian P. Ramlee, bintang layar putih Semenanjung Melayu kondang tahun 1950-an. Deklamasi sama sekali tidak asing, jika membaca ayat-ayat Kuran bisa disebut demikian. Acara tetap bagi tapol beragama Islam, setiap pagi selama tiga jam (9.00-12.00) kecuali hari Minggu pagi, di sepanjang sel sel penjara, belajar mengaji dan membaca Kuran. Tetapi adanya kendala perasaan berjarak, walau tidak asing, terhadap sajak-sajak bebas, agaknya bersumber pada bentuk persajakan Indonesia modern itu sendiri. Karena itu satu dua baris yang terkadang toh terdengar, justru terlontar lepas bernada kariratural: “Aku merana / engkau merene”. Sebuah karikatur terhadap sajak bebas dan cara berdeklamasi yang umumnya cenderung teatral.

Kata “merana” dan “merene” adalah bentuk bentuk distorsi dari kata-kata Jawa “mrana” (ke sana) dan “mrene” (ke sini). Jika interpretasi “aku merana / engkau merene” boleh diteruskan, itu berarti bahwa antara yang satu dengan yang lain tidak akan pernah saling bertemu. Begitu kah karikatur massa tentang hubungan antara sastrawan modern dengan masyarakat nya? Sebuah contoh lagi ialah ini: “Tak seorang berniat pulang / walau mati menanti”. Dua baris pertama sajak Hr. Bandaharo ini sering terdengar terlontar tiba-tiba sebagai pelepas frustrasi. Jelas sebagai karikatur tentang betapa encernya militansi kader kader komunis Indonesia.

Dibanding dengan puisi modern Indonesia yang diterima dengan sikap sinis, tembang-tembang Jawa bermatra macapat, dan khususnya yang bergaya Semarangan, serta lagu-lagu dolanan gubahan baru (misalnya dari Nartosabdo dan Tjakrawasita), diterima dengan baik. Bahkan juga oleh tapol-tapol yang tidak berasal etnis Jawa. Ada beberapa alasan untuk hal ini. Pertama, karena berirama sederhana, sehingga mudah orang mengingat dan menirunya. Kedua, karena lagunya bisa menciptakan suasana damai dan riang. Ketiga, karena isi repertoar lagu-lagu tersebut umumnya politis “bersih”, sehingga jauh dari kemungkinan akibat yang “tak diinginkan”. Keempat, khususnya menyangkut Iagu lagu dolanan, karena umumnya tidak berisi apa-apa selain pemainan kata, justru itulah agaknya sesuai dengan apresiasi umum tapol yang cenderung blangko.

Jumlah tukang cerita tidak terdapat banyak jika dibandingkan dengan animo pendengar. Kelak bila keadaan telah memungkinkan, misalnya di Buru ketika tapol bisa menyelinap dari barak satu ke barak lain (berbeda dengan di penjara, ketika pintu sel terkunci dari jam enam petang sampai jam enam pagi), pada setiap usai apel petang akan terlihat si tukang cerita mengendap-endap mencari pendengar. Ia masuk dari barak ke barak secara bergilir, untuk menuturkan repertoar-repertoar ceritanya. Repertoar yang diambil umumnya dari genre yang dikenal sebagai roman picisan atau novel pop (misalnya karangan Motinggo Busye, Marga T., atau penulis lainnya yang sudah dikenal, atau gubahan seketika si tukang cerita itu sendiri), cerita silat dan pseudo sejarah (misanya “Bende Mataram” karangan Herman Pratikto, “Naga Sasra Sabuk Inten” karangan S.H. Mintardja, “Tiga Negeri” atau “Sam Kok”, dan semacamnya), roman rakyat (misalnya “Pranacitra Rara Mendut”, “Sampek Eng Tay”, “Sangkuriang”, dan sebangsanya).

Perbendaharaan prosa modern mereka terbatas pada repertoar Balai Pustaka “Layar Terkembang” (Takdir Alisyahbana) dan “Sitti Nurbaya” (Marah Rusli), dengan umur tapol-tapol penceritanya dari “angkatan sesudah perang”. Sementara itu tukang-tukang cerita dari “angkatan sebelum perang” untuk roman modern Jawa mempunyai repertoar yang jauh lebih kaya, meskipun pada umumnya juga diambil dari perbendaharaan Bale Poestaka pra-1945. Repertoar yang paling banyak terdengar antara lain “Serat Riyanta” (R. Sulardi), “Ngulandara” (Margana Jayaatmaja), “Kirti nJunjung Drajat” dan “Ni Wungkuk Ing Bendha Growong” (keduanya dari Yasawidagda). Hal ini, pada satu pihak, barangkali bisa merupakan petunjuk tentang adanya alienasi terhadap hasil sastra Indonesia modern; dan pada pihak lain, bisa menjadi petunjuk tentang politik dan metode pengajaran sastra, yang diterima oleh masing-masing “angkatan” tersebut; demikian juga bisa menjadi petunjuk tentang bagaimana hubungan antara sekolah dengan Balai Pustaka sebagai badan penerbit negara, pada masa kolonial dibandingkan dengan pada masa republik.

Walaupun demikian tidak berarti, bahwa prosa modern Indonesia mutakhir tidak mendapat tempat di sel-sel tapol. Seperti diketahui, tetralogi Pramudya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), lahir pertama justru sebagai sastra lisan di tengah sawah di Buru. Demikian juga cerita cerita karya Pramudya lain nya (Wiranggaleng, Mata Pusaran, Arus Balik, dan lain-lain), semuanya telah beredar dengan sangat luas dan cepat dalam bentuk ketikan di unit-unit. Boejoeng Saleh (almarhum Saleh Iskandar Puradisastra), pernah tampil dengan cerita “Pranacitra Rara Mendut” dan “Under the Firing Squad”. Kisah tersebut akhir, tentunya demi rasa aman bagi diri sastrawan penutur itu sendiri, memang dituturkan dan kemudian juga ditulis dalam bahasa Inggris.

Bahwa tapol dengan gairah besar mendengarkan Pramudya dan Boejoeng, menurut hemat saya, bukan sekaligus petunjuk tentang kesadaran mereka terhadap nilai sastra modern. Dukungan nama besar penulis atau penceritanya itulah kiranya, yang mampu meruntuh kan dinding alienasi antara tapol dengan prosa modern Indonesia. Lagi pula gejala demikian itu pun hanya terjadi sesudah di Buru, dan tidak sebelumnya ketika masih di kamp-kamp di Jawa.

Jailangkung Konsultan Rohani

TIDAK semua blok di penjara Salemba bisa menghibur diri atau berpergelaran seni. Seperti sudah dikatakan di atas, jauh atau dekat jarak blok dengan pos penjagaan, sikap aparat blok, bersih atau tidaknya blok bersangkutan dari coro-coro atau cecunguk, semuanya sangat menentukan. Walaupun semua aparat blok terdiri dari sesama tapol, kecuali Blok E yang di bawah para takrim (tahanan kriminil militer), namun ada blok-blok tertentu yang memberlakukan konsinyes begitu keras. Misalnya blok yang dipimpin Kablok Drs. Suwarno. Di blok-blok ini berbicara keras keras, tanpa ada kepastian sekeras bagaimana, atau bahkan tertawa pun bisa dituduh “macam-macam”. Kata “macam-macam”, sebagai jargon penjara, tidak lagi berarti “rupa rupa”, atau “(ber)bagai-bagai”, tapi berarti perbuatan yang menyimpang dari konsinyes. Konsinyes itulah macam yang tunggal, sehingga hal hal yang tidak patuh padanya menjadi termasuk macam macam, atau yang lain dari yang tunggal itu. Tertawa bisa digolongkan sebagai perbuatan macam macam, apalagi yang terdengar dengan “ledakan” atau gigi-gigi yang tampak menyeringai. Sebab, tertawa yang demikian itu, bisa ditafsirkan sebagai menertawakan si penegak konsinyes. Sehingga oleh karenanya tertawa bisa termasuk konsinyes itu sendiri.

Di blok-blok dengan konsinyes keras seperti ini kakus bukan hanya tempat untuk melepas hajat, tetapi juga tempat untuk melepas tawa. Satu kali sehari. Ya, satu kali sehari saja! Walaupun tawa (dengan tangis sebagai pasangannya) merupakan pernyataan naluri hidup yang paling pertama dan mendasar. Dengan demikian bagi tapol penghuni blok seperti ini, jatah waktu enam puluh menit setiap pagi buat seluruh penghuni blok yang lebih dari seratus tapol untuk buang hajat plus mandi itu, benar-benar merupakan keindahan tersendiri. Betapa tidak? Karena hanya pada saat-saat di kakus itulah, tapol bisa menghibur diri dan melepaskan cita rasa mereka yang semurni-murninya. Maka terkadang kita dengar suara teriakan sekedar untuk teriak, atau ledakan tawa sekedar untuk tertawa. Tanpa ada yang perlu diteriaki atau ditertawai. Itu lah sejatinya, menurut pendapat ku, teriakan yang paling jujur dan tertawa yang paling indah. Sesungguhnya penjara bukanlah dunia abnormalitas. Bukan!

Tetapi pengucapan fantasi manusia, termasuk manusia tapol, tidak cukup dalam bentuk hiburan dan seni saja. Dari itu mereka lalu mencari cara-cara untuk bisa menembus tembok beton konsinyes dan isolasi fisik, agar bisa merasa tetap eksis di tengah tengah dunia nyata sehari hari. Radio dan surat menyurat gampang dipantau dan dilacak. Lagi pula “permainan” yang terlalu ber-vivere peri coloso seperti itu, justru menciptakan suasana tegang. Padahal ketegangan itu sendiri sudah ibarat menjadi denyut jantung kehidupan tapol. Barangkali itulah alasan psikologis, mengapa di tengah kehidupan tapol “info” atau “sasus” menjadi sejenis “menu” yang sangat dilahap. Menjadi kebutuhan tapol, karenanya, justru ingin mengurai ketegangan tersebut, walau hanya satu-dua jurus dan kadang kadang saja. Misalnya dengan melalui percakapan-percakapan lugas dan santai tentang segala hal ihwal: kabar tetek-bengek keluarga, hari depan nasib sendiri, konflik para petinggi di Jakarta, adu kekuatan negara adikuasa, dan apa saja: dari singkong sampai
tembakau, dari gempa bumi sampai bom nuklir. Bukan diurai dalam dialog dengan sesama tapol, melainkan dengan arwah orang orang mati melalui medium yang disebut jailangkung (jika roh yang datang laki-laki) atau jailangse (jika roh yang datang perempuan). Kepada arwah itu mereka berani dan bisa menyatakan perasaan dan pikiran nya, tanpa harus merasa takut dihardik, diancam konsinyes, dan dilaporkan kepada penguasa kamp.

Biasanya kegiatan menghubungi arwah seperti itu mereka lakukan apabila malam telah larut, di suatu sudut blok yang gelap dan sepi, khususnya (sekali lagi) di kakus!

Jailangkung (lebih tepat jailangse) tidak lain ialah nini thowong atau nini thowok dalam tradisi Jawa. Mula mula merupakan salah satu bentuk ritus animisme, kemudian berkembang sebagai permainan teatral anak-anak desa di kala musim bulan purnama. Untuk memanggil ruh Nini Thowong itu, sudah ada lagu “wajib” yang dinyanyikan bersama sama, sampai saat ruh sudah masuk “tubuh” Nini. Lagu itu bernama “Ilir Ilir”, begini kata katanya:

“Lir ilir lir ilir,
tandure wis sumilir
dak ijo royo royo
dak sengguh penganten anyar
cah angon cah angon
penekna blimbing kuwi
lunyu lunyu peneken
kanggo masuh dodotira
dodotira dodotira
kumitir bedhah ing pinggir
domana jlumatana
kanggo seba mengko sore
mumpung gedhe rembulane
mumpung jembar kalangane
dak suraka surak hore!
dak suraka surak hore!”

Terjemahan nya:

“lir ilir lir ilir
tanam (padi) sudah bangun
menghijau cerah segar
seolah pengantin baru
nak gembala nak gembala
panjat lah (pohon) blimbing itu
biar licin sekalipun
untuk mencuci kain mu
kain mu kain mu
berkibaran sobek di tepi
jahit lah tisik lah
untuk menghadap sore nanti
selagi purnama bulan
selagi luas gelanggang nya
ayo bersurak surai
ayo bersurak surai!”

Beda dengan Nini Thowong yang manja, minta dijemput nyanyian bersama di kala bulan purnama, Jailangkung dan Jailangseng tidak demikian. Tanpa nyanyian sepenggal, dan di depan kakus pun jadi. Yang penting ada segelas air putih, dan beberapa biji kacang goreng …

Tetapi entah mengapa, ketika permainan ini timbul kembali laksana wabah di kota-kota di Jawa, pada awal 1950-an, seusai perang kemerdekaan (seakan-akan ada hubungannya dengan banyaknya orang mati “sebelum saat ajal” mereka sampai), orang cenderung mengikuti tradisi animisme Tionghwa. Apakah karena dalam tradisi animisme (tani) Jawa hanya dikenal satu tokoh perempuan, yaitu seorang nini atau nenek? Ya, Nini Thowong saja adanya. Kaki Thowong tidak pernah ada! Sedang dalam tradisi Tionghwa dikenal tokoh laki-laki dan perempuan? Dan ini lebih sesuai dengan konsep tentang hubungan antara raja atau kraton dengan kaula atau kerajaan nya? Ternyata kemudian tokoh Jailangkung memang tampil lebih dominan dibanding dengan Jailangse. Demikian juga yang terjadi di penjara-penjara tapol (laki laki) Salemba dan Tangerang. Tradisi dominasi laki-laki atau raja/kerajaan ala Tionghwa itu yang dianut. Saya tidak tahu, apakah di penjara-penjara perempuan, Bukitduri (Jakarta) dan Bulu (Semarang) misalnya, tapol di sana juga menyukai permainan ini? Juga kamp konsentrasi para pembesar di Nirbaya? Dan apakah juga berkecenderungan pada animisme Tionghwa dan kelaki lakian, ataukah tetap mempertahankan animisme Jawa yang dikuasai seorang Nini?

Entah bagaimana jadinya kebenaran kata-kata Jailangkung kelak, itu urusan kelak. Tetapi sekarang, keluh dan kesah mereka ada yang mau mendengar, pertanyaan mereka pun ada yang mau menjawab. Lalu mereka akan tidur dengan damai, dan menghadapi hari esok dengan senyum kembali…

Tinggalkan komentar