Pipit Rochijat tentang Pembunuhan Massal ’65 (1)

Date: Fri, 18 Oct 1996 11:00:00 -0400 (EDT)
To: apakabar@clark.net
From: ba16@cornell.edu (Ben Abel)
Subject: IN:Pipit R ttg pembunuhan 1965 (1/7)

PIPIT ROCHIJAT TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65

T: Bung Pipit, anda menulis kesaksian pribadi ketika peristiwa pembunuhan
massal terjadi di Kediri. Tulisan anda itu, “Saya PKI Atau Bukan PKI?!”
dimuat dalam majalah “Gotong Royong,” Maret 1984, yang diterbitkan oleh PPI
Berlin, Jerman Barat. Dan kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Inggris lalu
dimuat di majalah “Indonesia” terbitan Cornell. Kami ingin tahu lebih dalam
tentang pengalaman Bung itu.

Karena itu sudah ditulis 12 tahun yang lalu, dan mungkin sudah banyak data
yang Bung tidak hapal lagi di luar kepala, maka kami susun daftar pertanyaan
ini. Daftar ini bisa anda ubah, perbaiki, edit, tambah, dsb. Yang penting
kita sama-sama setuju dengan pertanyaannya.

J: Wah, nanyaknya kok buanyak sekali. Kayak interogasi saza mek! Agak grogi
juga dikasih kesempatan ngoceh bersama para pakar kesohor macam Mbah Ben dan
Mbah Den atow Sinsei Tak-Aksi-Aksian. Habis, saya nggak bisa menjawab secara
ilmiah. Jadi secara alamiah sazaaaa…lah!

T: Mereka itu kan orang sekolahan, kang. Mereka ndak punya pengalaman seperti
sampeyan ini. Malahan mereka yang akan mendengar baik-baik pengalaman
sampeyan. Karena kawasan yang anda ceritakan ini, persisnya kota Pare, adalah
tempatnya Pak Clifford Geertz mengadakan penelitian tahun 52 sampai 54. Yang
hasilnya selalu diomongin orang sekolahan, yaitu adanya politik ‘aliran’ di
Jawa, yaitu santri, priyayi dan abangan.

Pengalaman sampeyan itu ditulis 20 tahun setelah kejadian. Kalau dirumuskan
dengan satu kalimat, mengapa soal “Saya PKI atau bukan PKI?!” itu tetap
membayangi setelah sekian lama?

J: Saya telah melaluken sesuatu tanpa saya mengerti. Saya cuma ikut arus
saza.

LATAR BELAKANG PRIBADI

T: Karena yang mau kami tanyakan ini adalah pengalaman pribadi, bisakah
dijelaskan sedikit latar belakang pribadi dan keluarga sampeyan?

J: Oow bisa saja. Ceritanya agak panjangan. Kalow kelewat ndlewer silahken
situ yang nyunat sendiri. Bokap itu orang Sunda dan mokap itu orang Jawa
Tengah asli, masih pakai pangkat Roro segala. Lantaran katanya ada hubungan
lahir batin sama keraton Ngayojokarto. Meskipun mokap orang Jawa, dia
dibesarken di Tanah Sunda.

Bokap itu anak sulung. Kluwarga bokap (orangtua, adik-adiknya atow kluwarga
besarnya) termasuk kluwarga santri dan semuanya sudah pada ke Mekah. Bahken,
kakek Sunda saya ada punya langgar sendiri. Di tempat dia bermukim, di
Rajamandala — antara Padalarang dan Cianjur — saya punya kakek adalah orang
yang disegani. Entah karena keislamannya, atow entah karena dia memang
termasuk kluwarga kaya raya yang punya tanah sangat luas.

Mokap sendiri menjadi anak tertua setelah kakaknya menjadi almarhum. Bokapnya
mantan kepala gudang garam di Banten jaman Kumpeni. Beliau sudah tiada ketika
saya mbrojol ke alam nyata. Mokapnya lantas tinggal di Wates, 30 kilometer
barat kota Yogya. Di sana, dia jadi tuan tanah. Berbeda halnya dengan
kluwarga bokap yang ngumpul semua di Bandung, kluwarga mokap merantow ke
mana-mana: Sulawesi lah, Medan lah, Palangka Raya lah, kemudian Ambon lah.

Di antara kluwarga mokap, dua adiknya sangat santri. Mereka berdua, satu di
antaranya kemudian jadi Kadapol (Kepala Daerah Angkatan Kepolisian)
Langlangbuana Jawa Barat. Dia sering bentrok sama keponakan mokap (putri
kakaknya yang sudah almarhum), lantaran ini keponakan dengan suami dan
anak-anaknya ada menganut agama yang menurut dia ‘salah,’ yaitu Katolik.

Perdebatan mereka sering seru, dan berakhir dengan marah-marah dan
perseteruan berat. Sebabnya ya terang: menurut para santri itu, keponakan
mokap (dus mbak saya), ada salah milih agama dan kapir. Alasannya, agama
Katolik menyembah patung, dan Tuhan kok punya anak? Mokap juga pemeluk agama
Islam yang saleh tapi dia menomorsatuken kerukunan. Dia yang sering kelabakan
melerai cakar-cakaran mereka.

Bukan cuma konflik gara-gara agama yang saya alami dalam kluwarga. Karena
kluwarga bokap, herannya, selalu ada mencibir kita. Kalow umpamanya mau
pulang ke Jawa Timur setelah bezoek mereka di Bandung, kita suka disindir,
“Mau pulang ke Jawa?” Seolah-olah antara Tanah Sunda dan Tanah Jawa ada laut
yang memisahken. Atow, “Nanaonan balik ka Jawa? Da di diyeu teh loba
kadaharan.” Artinya, ngapaiin ente mudik ke Tanah Jawa? Sebab di sini ada
banyak makanan. Maklum, kala itu Tanah Sunda kan lebih makmur ketimbang Tanah
Jawa.

Waktu gegeran Repolusi 45, dan gegeran selanjutnya, menurut cerita yang saya
dengar, bokap tidak ikut berjuang. Dia umpamanya cuma ikut ngungsi dari Jogya
ke Jawa Barat, ketika Kumpeni mengadakan Clash II.

Bokap memulai karirnya di pabrik gula milik Kumpeni (HVA) kalow nggak salah
taon 50 begitu. Ondernemingnya (istilah waktu itu) ada di Turen, selatan
Malang. Karena bekerja di pabrik gula, maka dia sering pindah. Bokap pernah
bekerja di pabrik gula Jatiroto dan Semboro. Karena itu saya pernah sekolah
di SD Katolik Lumajang dan Jember. Waktu Blanda diusir taon 58-59, bokap
diangkat jadi direktur (sekarang namanya administratur) pabrik gula Ngadirejo
di Kediri taon 1959. Jadi, pas umur 10 taon saya masuk ke klas empat di SD
Frateran (Katolik) Kediri, kulon kali Brantas.

Waktu Blanda belon pergi, banyak Blanda-Blanda bekerja di pabrik gula. Pada
waktu-waktu tertentu, kita juga ada merayaken kedatangan Sinterklas segala.
Mungkin karena itulah komunikasi antara bokap dan mokap pun berlangsung dalam
bahasa Kumpeni. Bokap saya sendiri, mikirnya keblanda-blandaan. Dia sering
cerita Eropa dan yang dia kagumi adalah Jerman. Mungkin itulah sebab, dia ada
pikiran liberal. Dia kagak pernah ngelarang trahnya misalnya buat nganut
agama atow warna yang disukai masing-masing.

Kakak saya nggak pernah hidup bersama kita, terkecuali ketika dia di SMA.
Kakak saya dipungut sama aki (sebutan kakek di Tanah Pasundan) dan emang
(paman) di Bandung. Di Tanah Sunda dia menghabisken waktu sampai tamat SMP.
Semasa SMA dia kumpul sama kita. Sebagai anak sulung tentu dia memaenken
jurus diktatur. Kalow kakak saya pulang vakansi ke rumah, dialah satu-satunya
yang ngomong bahasa Sunda dengan bokap dan mokap. Saya dan dua adik saya yang
laen berkomunikasinya dalam bahasa Indonesia. Adik saya yang paling bungsu,
gara-gara dibesarken di Jawa Timur, ngomongnya bahasa Jawa Timuran terus.

Nah, sejak peristiwa Jengkol taon 1961, bokap jadi beken di Kediri. Soalnya
musuh nomor satu PKI ya bokap. Saya masih ingat, kalow ada rapat raksasa PKI,
nama bokap selalu muncul. “Ganyang Karta! Retool Karta! Karta Masyumi! Karta
Koruptor! Karta Borjuis! Karta tujuh setan desa!” dan laen sebagaenya. Saya
sering mendengar rapat-rapat atow konperensi-konperensi PKI, misalnya di
Gedung Bioskop Wijawa di Kediri atow di Alun-Alun Kediri dan di Gedong Buruh
di Margersari, Ngadirejo.

Setelah PKI keok, bokap langsung diangkat jadi Penasehat Sarbumusi (ormas
buruhnya NU) se Jatim dan KBG (ormas buruhnya PNI) se Jatim. Setelah Orba
menang total, taon 1967 bokap diangkat jadi Inspektur Pabrik Gula
berkedudukan di Semarang. Taon 1968 dia dipindah ke Surabaya buat menjabat
jadi Direktur Utama PNP XII (kalow nggak salah), mengawasi lima pabrik gula
di daerah Situbondo dsb.

Taon 1969 dia digampar sama proyek Dwi Fungsi. Setelah itu dia didongkel sama
seorang Brigjen Angkatan Darat. Lantas dia diplorotken pangkatnya jadi
Direktur Produksi dan dibuang ke Solo, cuma kluwarga tetap tinggal di
Surabaya. Kalow nggak salah, taon 72-an, dia direhabilitasi dan ditunjuk jadi
Inspektur Gula sampai masa pensiunnya di Surabaya.

Saya punya bini itu putrinya mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Praha,
Cekoslovakia, waktu masih jaman Orla. Dia ada di sana sejak taon 1962, ketika
berusia kencur alias delapan taon. Setelah Peristiwa Gay-30S, dia bersama
orangtua dan adik-adiknya lantas bersuaka politik di Jerman Timur dan
bermukim di ibukota Jerman Timur, yaitu Berlin Timur. Bokap bini saya
dinaekken pangkatnya jadi Dr. oleh Universitas Humboldt JerTim, lantas
mengajar bahasa Indonesiana di sana.

Bini saya kelar studinya di Universitas Humboldt jurusan bahasa. Taon 1981,
mereka sekeluwarga lantas diusir dari Jerman Timur. Waktu itu bini saya lagi
sekolah untuk Doktor. Cuma pas di tengah jalan, dia dipaksa masuk Organisasi
Pemuda Indonesia yang komunis tulen dan bermarkas di Jerman Timur. Bokapnya
yang ngajar bahasa Indonesiana kabarnya juga dipaksa masuk Partai Komunis.
Gara-gara mereka menolak, mereka lantas diusir dari sana, dan sejak itu
bermukim di Berlin Barat.

Dua adik lelaki bini saya itu kawin sama cewek Jerman Timur. Cuma,
cewek-cewek Jerman Timur ini kabarnya lantas pada bentrok sama orangtuanya
masing-masing. Karena kawin dengan orang Indonesia, yang setelah jaman Orba
disebut negara kapitalis, jelas diharamken. Dus, tidak bersih lingkungan.
Maklum orangtua mereka itu pegawai negeri: satunya pejabat di Kemlu dan yang
laennya pejabat di Kementerian Perdagangan. Waktu mereka dipersulit, orangtua
mereka cuci tangan dan tak tahu menahu. Hikayatnya mirip dengan Malin
Kundang, cuma kebalik.

Cuma waktu jaman berubah, reunifikasi Jerman datang, orangtua mereka ya minta
sori seribu sori atas sikapnya di masa lampow. Alasannya, kan mereka harus
memikirken periuk kluwarga dulu? Padahal sewaktu jadi pejabat, mereka gagah
perkasa.

Saya jelas bukan Angkatan 45, apalagi Angkatan 66. Saya bukan berasal dari
kluwarga pejuang, apalagi pahlawan. Meskipun di kluwarga besar ada ABRInya,
saya bukan termasuk kluwarga ABRI. Meskipun demikian saya bebas Gay-30S.
Surat-surat pernyataan Kodim dan Polisi ada setumpuk. Saya masuk ITB taon 68,
lantas awal taon 71 hengkang ke Jerman Barat. Maklum, otak blong — artinya,
yang masuk kepala, langsung kluwar. Waktu itu di Indonesiana ada semboyan,
yang bloon, studi ke Jerman Barat. Setelah satu taon setengah di Hamburg,
sejak taon 72 saya bermukim di Berlin Barat. Studi elektroteknik di
Technische Universitaet cuma bisa sampai ke tingkat Sarjana Muda saja taon
75.

Padahal, bokap pengennya saya jadi Doktor atow Ph.D segala. Agaknya saya
punya otak nggak kuat. Lantas iseng-iseng nongkrong di jurusan Sosiologi di
Freie Universitaet, dan studi elektro saya putus. Sejak taon 77 saya jadi
anggota PPI Cabe — Cabang Berlin. Sejak taon 1983, usia paspor saya cuma
dikasih enam bulan terus padahal normalnya dua taon. Taon 1986 dikasih
setaon. Baru awal taon 87, paspor saya dicabut. Kendati demikian, resminya
saya masih berkewarganegaraan Indonesia. Bahasa resmi Konjen: paspor saya
‘disimpan’, dan saya ‘warganegara Indonesia tanpa dokumen.’

Mainnya Bakin-Bakin itu lihai sekali. Mau cabut kewarganegaraan saya, mereka
tak punya landasan hukum. Padahal, Indonesiana katanya negara hukum. Tapi
karena mereka maunya mencabut saya punya kewarganegaraan, maka dipilihlah
jurus Frechtstaat alias negara nakalan. Jurus pertamanya paspor saya
‘disimpan.’ Status saya resminya jadi warganegara tanpa dokumen. Nah, saya
yang kerepotan meminta ijin tinggal. “Mana paspor ente nih?” tanya pihak
imigrasi Jerman Barat. Karena saya nggak punya, dan karena Jerman Barat
tunduk kepada Perjanjian PBB, maka Jerman Barat musti membuat saya jadi
‘manusia.’ Karena tanpa dokumen kan jadinya demit atawa hantu. Karena itu
pemerintah Jerman Barat menyuruh-nyuruh saya menerima dokumen.

Nah, inilah yang dinantiken pihak perwakilan. Kalow saya mau menerima dokumen
bersifat paspor, maka perwakilan punya alasan mencabut saya punya
kewarganegaraan. Sebab ada undang-undangnya, yaitu kewarganegaraan akan
hilang, bila sang warganegara ini memegang dokumen bersifat paspor dari
negara asing. Itulah pasalnya, setiap taon, perwakilan selalu menulis surat
resmi ke pihak imigrasi Jerman, menanyakan dokumen apa yang ada saya pegang.
Cuma, pihak imigrasi Jerman Barat, ogah menjawab. Beberapa kali saya
perpanjang ijin tinggal, dan saya diberitahu sama mereka tentang
kepengen-tahuan pihak perwakilan itu.

Taon 87, rencananya saya mau menggugat pencabutan paspor. Katanya di
Indonesiana — yang negara hukum — itu bisa. LBH Jakarta mau nangani kasus
saya. Saya tanyaken sama Konjen, katanya memang boleh. Syaratnya: saya musti
menandatangani surat kuasa LBH, dan disahken sama Konjen. Cuma, pas saya ke
Konjen meminta pengesahan, Pak Bakin-nya ogah teken. Jadi, kasus saya nggak
diterima sama pengadilan Jakarta.

Meski pun saya tidak termasuk ke dalam Angkatan 45 atow Angkatan 66, tapi
saya boleh membanggaken diri. Sebab sejak taon 77, ketika ada maen
politik-politikan, saya kerja angkat-angkat alias nguli di pabrik-pabrik.
Setelah itu angkat-angkat piring dan hidangan alias pelayan restoran.
Sebetulnya bokap ada kuat membiayai. Cuma bokap ada keberatan kalow saya ada
maen politik-politikan. Karena itu saya bilang ke bokap, biar saya cari
nafkah sendirilah. Keberatan bokap ya bisa dimengerti, oleh sebab kala itu
dia jadi pejabat. Dia dapat doku dari gapermen, lho kok sekarang ngasih makan
orang yang ngelawan gapermen, katanya.

Maka, latar belakang dan latar depan hidup saya termasuk kacow- balow.
Rencananya mau jadi ‘orang,’ eeee sekarang jadi ‘hantu.’ Alih-alih meraih
gelar Dr, saya dikataken jadi Dukun Revolusi. Bukannya Ph.D, eee malah jadi
Penghasut Durjana. Maunya menyandang gelar Gusti Pipit Kartawidjaja, eee
keterusan jadi Gerakan Pengacow Kenyamanan. Mungkin hoki saya kurang bagus.
Mungkin saya tidak pernah konsultasi sama Astroloog. Kalow sowdara-sowdara
saya rata-rata sudah jadi ‘orang’ dan dokunya pada kenceng kabarnya.

Jadi ringkasnya, latar belakang saya sih cemar sekali. Dalam jaman apapun
saya nggak bakal ‘bersih lingkungan.’ Dan kini berada dalam keadaan memar

LATAR BELAKANG KONFLIK DI KEDIRI

T: Bagaimana politik lokal di Pabrik Gula Ngadirejo pada tahun 65?

J: Pokoknya, geng-geng di sana terbagi dua. PNI berkoalisi dengan NU di satu
pihak. Sedangken di pihak yang berseberangan adalah PKI. Karena itu serikat
buruhnya pun komposisinya seperti itu. Kesatuan Buruh Gula alias KBG (PNI/FM)
dan Sarikat Buruh Muslimin alias Sarbumusi (NU) kontra Serikat Buruh Gula
alias SBG (PKI). Menurut perasaan saya, terbaginya ini karena kebijaksanaan
partai-partai di daerah yang berlaenan dengan di pusat.

Ke rumah sering datang bertandang tokoh-tokoh KBG dan Sarbumusi, juga PNI dan
NU plus dari Pesantren-Pesantren seperti Kiyai Makhrus Ali dari Lirboyo.
Bokap saya sendiri sih mengaku tak berpolitik — mungkin karena pengalaman
mudanya yang traumatis itu. Cuma dia mengaku kurang sreg sama Bung Karno. Dia
mengaku angkat topi sama Hatta dan Syahrir, mungkin karena keduanya pernah di
Blanda.

Bokap beberapa kali cerita tentang rapat di dewan gula (nama tepatnya saya
lupa). Di situ duduk pihak pabrik gula dan serikat-serikat buruh. Dia cerita
juga, bahwa pihak komunis sering nuntut, dan selalu meninggalken ruangan,
setelah disinis-sinisin oleh bokap. Pernah satu kali, buruh komunis mogok.
Yang laennya ya tidak. Geng Komunis lantas sewot besar sama bokap, lantaran
yang mogok itu lantas dipotong gajinya. Habis, orang- orangnya ketahuan, ada
dipotret semua.

T: Kenapa buruh tak bersatu?

J: Mana saya tahu? Tapi menurut perasaan saya, tuntutan mereka berbeda banget
dengan tuntutan era Eyang Presiden sekarang. Pabrik gula dulu kesohor sebagai
pemberi nafkah yahut. Upahnya pun di atas minimum. Belon jatah-jatah laennya.
SBG-nya PKI nuntutnya yang nggak kena. Umpamanya Retool Karta karena Karta
Koruptor. Pada jaman itu, direktur pabrik gula belon sekaya raya sekarang.
Sepeda motor kagak punya, apalagi sepeda mobil. Dus, koruptor gimana? Atow,
SBG-nya PKI menuntut agar anak-anak Margersari boleh naek bus pabrik gula ke
Kediri.

Catatan, menurut tatakrama pabrik gula yang diperoleh dari jaman Blanda,
hanya anak-anak employee, yaitu staf pabrik gula yang jumlahnya sekitar 30
s/d 40 orang yang boleh naek bus untuk ke kota Kediri, tempat mereka sekolah.
Sedangken anak-anak Margersari, yaitu anak- anaknya buruh tetap,
dipersilahken mencari kendaraan sendiri kalow mau ke Kediri yang berjarak 14
kilometer itu.

Tuntutan Komunis ini dirasa nggak logis. Sebab agaknya, secara kultural
pembagian kenikmatan itu diterima oleh masyarakat kala itu. Masak pantes anak
Margersari misalnya bergaul dengan anak-anak employee. Buruh-buruh pabrik
gula yang dipekerjaken sebagai pembantu rumah tangga bokap pun manggil kita
pakai ‘ndoro,’ atau ‘den’ dan sejenisnya. Kalow di pabrik, mereka panggilnya
ya ‘pak’ kepada bokap.

Setelah peristiwa 65, bokap lantas merubah kebijaksanaan ini. Buat anak-anak
Margersari kemudian disediaken truk yang dirubah sebagai bus sekolah. Jadi,
karena tuntutannya terlampow revolusioner dan bukan menyangkut hal-hal yang
mendasar (kenaekan upah misalnya), maka buruh agaknya kagak bisa bersatu.
Lagian, pembagiannya ke geng-geng itu menurut perasaan saya cuma berdasarken
simpati belaka.

T: Mengapa dalam tulisan itu anda menggunakan kata ‘lapisan’ dan bukan
‘kelas,’ istilah yang memang dipakai pada waktu itu.

J: Waktu menulis artikel itu, saya ragu menggunaken istilah kelas. Apalagi
saya ini nggak banyak tahu. Sepengetahuan saya, kelas itu definisi
sosiologisnya berkaitan erat dengan ‘mode of production,’ cara produksi, dan
bukan dengan ‘mood of production.’ Sehingga saya bingung, apa pantas bokap
saya direktur pabrik gula dimasukken ke dalam ‘kelas ini,’ sedangken buruhnya
‘kelas itu.’ Soalnya, pabrik gulanya kan milik negara?

Selaen itu, karena tulisan itu dimaksudken untuk menjelasken posisi saya,
maka saya kira tidak cocoklah untuk menggunaken istilah kelas. Karena
pembacanya di BerBar dan JerBar kala itu hanya tahu geng mantan pelarian
komunis Eropa Timur dan Cinalah yang doyan banget menggunaken istilah kelas.

Karena sampai saat itu tidak doyan menggunaken istilah kelas, maka saya ini
dinilai kurang repolusioner oleh organisasi Indonesia bernafasken komunis
yang berkedudukan di Berlin Timur. Namanya OPI aliasnya Organisasi Pemuda
Indonesia. Karena itu waktu taon 80 saya dan dua orang teman ke Berlin Timur,
kami dilarang masuk. Padahal sebelonnya boleh. Agaknya PPI Berbar itu musuh
kerasnya kelas melayu Berlin Timur. Maka mohon maklum saja kalow saya lantas
memakinyapun tak berbau kelas. Saya bilang, “Ngehek!”

PERISTIWA JENGKOL-1961

T: Bisakah anda ceritakan sebab musabab konflik pertama antara PKI — dalam
hal ini ormas buruhnya, Serikat Buruh Gula atau SBG — dengan militer? Apakah
secara aktif pihak pabrik minta pihak militer terlibat?

J: Seingat saya, konflik antara PKI dan militer (polisi dan tentara) itu
diawali dengan meletusnya Peristiwa Jengkol taon 1961. Peristiwa Jengkol ini
bermula dengan niat pemerentah untuk menyatuken lahan tebu. Seperti
diketahui, Jengkol (25 kilometer sebelah Timur Kediri dan 25 kilometer
Selatan kota Pare) adalah pabrik gula yang tak berproduksi lagi lantaran
hancur akibat perang. Karena Pabrik Gula Ngadirejo adalah pabrik gula
terbesar di Kediri dan memiliki kapasitas produksi lebih. Artinya dengan yang
lahan yang dimiliknya, pabrik gula Ngadirejo sering nganggur. Maka lahan
Jengkol hendak digabungken dengan Ngadirejo. Sebagai perbandingan, kira-kira
5 kilometer sebelah Timur Kediri juga ada pabrik gula Pesantren. Cuma pabrik
ini lebih kecil.

Sayangnya lahan-lahan pabrik Jengkol itu terpencar-pencar dan di atas lahan
itu sudah banyak petani penggarap. Makanya, mereka lantas digusur dan diberi
ganti rugi duit atow tanah. Rupanya PKI kala itu, istilah sekarangnya pandai
‘menunggangi’ para petani. Demonstrasi pecah, dan akhirnya meminta korban.
Katanya, para demonstran itu melakuken kekerasan terhadap aparat keamanan.
Ada sopir traktor yang dikubur hidup-hidup. Ada polisi yang dibakar
brewoknya. Sedangken polisi dan tentara, setelah ada kasih tembakan
peringatan, ada sulit mau menghalow demonstran yang maju terus pantang mundur
itu. Soalnya, di barisan depan, kabarnya ada laskar Gerwani yang bugil waktu
demonstrasi.

Karena peristiwa ini, militer dengan bokap bersekutu. Apalagi, sejak Blanda
diusir dalam Kampanye Sita Modal Asing yang mulai 1957, pabrik gula mesti
meyediaken rumah buat seorang perwira menengah tentara. Waktu itu seorang
Kapten, kalow nggak salah ingat, namanya Pak Suwarno. Kluwarga perwira
menengah inipun diperlakuken sebagai kluwarga employee pabrik gula.

Saya kurang tahu apa pabrik gula minta bantuan polisi dan tentara. Tapi saya
kira normal kalow aparat keamanan diminta bantuannya. Sebab ini kan
perusahaan negara, dan ketetapan penggabungan lahan kan juga kebijaksanaan
Jakarta. Tapi konflik di pabrik gula ini saya kira tak lepas dari percaturan
politik nasional kala itu.

SBG LAWAN SARBUMUSI DAN KBG

T: Mengapa kemudian bokap ente yang jadi sasaran dalam demo SBG?

J: Bokap itu Direktur (sekarang istilahnya Administratur) pabrik gula negara
Ngadirejo. Dus, kasus Jengkol dibebanken juga sebagai tanggungjawab dia.
Kalow mokap saya selalu bilang, bokap sih orangnya kaku, kurang ramah,
keblanda-blandaan, makanya banyak yang marah. Saya kira, kalow dengar
omongan-omongannya, bokap ada pengalaman buruk dengan geng revolusioner macam
komunis begitu di jaman revolusi dan awal-awal taon 50-an.

Yang jelas, satu ketika teman sekolahnya bokap dari Dirjen Pertanian Jakarta,
datang ke rumah (Catatan: pabrik gula kan ada di bawah kekuasaannya
Kementrian Pertanian). Kementerian Pertanian, merencanakan untuk memindahken
bokap ke pabrik gula laen. Cuma, kabarnya bokap menolak. Katanya dia ngotot
untuk tetap bercokol di pabrik gula Ngadirejo sampai persoalannya kelar. Dia
nggak mau dipindah hanya karena diretool PKI. Mungkin ini persoalan harga
diri. Sebab mana enak orang dipindah hanya gara-gara diretool komunis?

T: Bagaimana sikap serikat buruh dari NU (Sarbumusi) dan PNI (KGB) dalam
konflik antara Direktur Kartawijaya dengan SBG?

J: Sarbumusi dan KBG — bukan KGB nyong! — berdiri di belakang bokap. Dan
tanpa reserve. Saya ada kebagean rejekinya, ikut pula diangguk-anggukin
kepala kalau ketemu di jalanan.

T: Ketika SBG mengadakan mobilisasi massa untuk mencegah Kartawijaya masuk
kantor, terjadi mobilisasi massa tandingan dari PNI dan NU. Suasana menjadi
sangat panas. Tetapi tidak terjadi bentrokan fisik. Mengapa?

J: Rencana itu seingat saya, gagal. Sebab malam sebelonnya Sarbumusi seluruh
Jawa Timur bikin rapat di Ngadirejo. Pagi-pagi hari, sebelon saya brangkat ke
sekolah dan sebelon rencana SBG/PKI berdemonstrasi, rumah bokap saya dijaga
sama Ansor/NU. Ini tentu membikin komunis-komunis panas dingin, walowpun
niatnya termasuk panas juga. Malam sebelonnya, rumah banyak dikunjungi oleh
pendukung dan simpatisan bokap. Seperti komendan tentara dan polisi Kediri.
Tidak terjadinya bentrokan fisik itu lantaran aparat keamanan turun dan
demonstrasinya, kalow nggak salah dibatalken.

T: Sebagai anak SMA waktu itu yang jadi anggota GSNI (Gerakan Siswa
Nasionalis Indonesia, yang berinduk ke PNI), bagaimana perasaan anda? Sejauh
mana ancaman anak-anak IPPI terhadap anak-anak nasionalis dan agama itu
nyata? Bagaimana dibandingkan acaman anak-anak nasionalis dan agama terhadap
anak-anak IPPI, setelah meletusnya G-30-S di Jakarta?

J: Ancaman riil geng Komunis terhadap koalisi pelajar-pelajar GSNI,
pelajar-pelajar NU dan Muhammadiyah tidak ada. Cuma dalam pergaulan
sehari-hari saya merasaken kebencian anak-anak IPPI terhadap saya. Yang
semula, artinya sejak masih kanak-kanak masih mau maen bal-balan bersama,
maka dengan adanya jaman retool-retoolan, mereka lantas menjauhi saya.

Teman-teman saya ya akhirnya dari GSNI saza. Ini mungkin bisa dipahami dari
sudut laen. Teman-teman maen bal-balan saya di pabrik gula semuanya anggota
GSNI. Jadi anggota GSNI, saya ada perasaan ya buanggaaaa skali. Hanya waktu
peristiwa meletus, anggota-anggota IPPI kocar-kacir diburu-buru sama geng
koalisi pelajar PNI dan NU. Waktu itu saya pas duduk di klas satu SMA.
Sekolah pun kacow balow, pelajaran kagak ada. Makanya kurikulum sekolah
mundur kira-kira enam bulan.

Jadi waktu gegeran Gay-30S itu kita sih tetap masuk sekolah. Cuma di sekolah,
kita nggak blajar. Kita asyik memburu anggota-anggota IPPI dan guru-guru yang
anggota PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang onderbouwnya komunis.
Guru Civics (ketatanegaraan) dan guru bahasa Inggeris termasuk ke dalam menu
kita. Guru Civics itu gemetaran dan nangis-nangis. Teman-teman yang pernah
dapat nilai buruk atow nyontek ketahuan jadi luar biasa garangnya sama dia.

Saya termasuk beruntung sering diajak. Sebab kawan baek saya adalah aktivis
Muhammadiyah dan kemudian dia menjadi algojo. Badannya guedee pula. Karena
yang diburu geng onderbouw, kita ngeburunya ya pakai cara onderbouw juga.
Artinya, anggota-anggota geng IPPI itu diseret ke blakang semak-semak atow
tempat titipan sepeda. Jaman sekarang ‘off the record’lah istilahnya. Setelah
peristiwa Gay-30S meletus, geng komunis kayaknya kesihir. Mereka tampak kagak
berdaya dan lumpuh total

MENJELANG G-30-S

T: Bagaimana anda menggambarkan situasi di Ngadirejo menjelang 30 September
1965?

J: Ekstra panas dan super ‘bahenol.’ Bukan berarti menjelang Gay-30S
hari-harinya mengklimaks atow menjadi istimewa. Cuma, sejak peristiwa Jengkol
pecah, kan empat taon sudah ada berlalu. Pada saat-saat terakhir ya jelas
dong, kalow kesewotannya sudah kian memuncak. Sebab kasus-kasus bentrokan
dengan geng komunis di luar Ngadirejo kan pitamin penguat second dendam on
thought. Umpamanya kita dengar bahwa di Gurah (10 kilometer dari Kediri)
lurah PNI dibacok PKI. Lantas PNI sama NU bergerak bersama mencari PKI.

Lagian, karena kita pernah ngganyang Blanda, lantas ada sibuk ngganyang
Malaysia, dan kita punya banyak hari-hari besar, maka kita sering pawai dan
baris berbaris. Kita juga sering saingan drum-band-nan. Kacownya, kalow lagi
saingan begitukan setiap geng selalu berkesempatan buat menyoraki
lawan-lawannya. Apalagi, waktu itukan saya dan teman-teman terbiasa
sorak-sorakan, karena sudah terlatih kalow jadi penonton bal-balan.

Meskipun begitu, kalow dalam soal sorak-sorakkan ganyang- mengganyang,
menurut perasaan alamiah saya (maaf saya waktu itu belon mampu mencoba
berpikiran ilmiah), kita punya geng rasanya ya keok melulu. Sebabnya apa?
Jaman itu kan jaman “repolusi belon selesai” dan yel-yelnya pun selalu
bernafasken “revolusioner.” Semua hal yang berbau “revolusioner” sudah
diklaim sama geng komunis. Misalnya, “Ganyang Nekolim, Ganyang Kapitalisme,
Ganyang Tujuh Setan Desa, Ganyang Kabir (Kapitalis Birokrat), Ganyang
Masyumi” dan laen sebagaenya.

Nah, di antara yang diganyang, jelas bukan hanya “Amerika kita seterika atow
Inggeris kita linggis.” Tapi kan ada bokap saya, kiayi-kiayi Pesantren atow
Kepala Desa PNI. Soalnya mereka-mereka ini kan dituding Kabir, Tujuh Setan
Desa, Masyumi dan laen sebagaenya. Lha, makhluk-makhluk ini bercokol di PNI,
NU atow misalnya Muhammadiyah. Jadi ngganyang orang-orang itu jelas nyindir
organisasi dong.

Makanya, mau ngebalesnya ya gimana? Masak mau tereak-tereak “Hidup Karta”,
“Karta Bukan Tujuh Setan Desa” atow “Hidup Pak Kiayi anu”, “Pak Kiayi anu
bukan Tuan Tanah.” Paling top, geng non-komunis ya cuma bisa bilang yang
netral-netral saja, “Ganyang Malaysia, Ganyang Nekolim, Hidup Bung Karno” dan
sejenisnya lah. Lha yang ginian ada ditereakken juga sama geng Komunis.

Mana lagi, di kalangan pemuda kayak saya, ada semacam kejengkelan terhadap
keadaan. Lha, pas-pasnya jadi fansnya The Beatles, The Rolling Stones, The
Beeges atow Koes Ploes, eee, merekanya dilarang dan dituduh sebagai lagu
ngak-ngik-ngok. Benar Bung Karno yang ngelarang, cuma karena kita sewot sama
geng-komunis, kita menuding ini ulah geng-komunis.

Mau nonton pilem koboi yang kita sukai, eeee, dilarang. Nonton pilemnya cuma
pilem-pilem dari Eropa Timur atow Cina. Pilem-pilemnya pun motifnya sama:
perang melulu, dan isinya kegagahan geng komunis belaka. Kalow pilem dari
Cina misalnya silat begitu, mungkin laen. Pilem-pilem India saja yang kita
juga gemari, tiba-tiba lenyap. Yang menghibur, ya cuma kalow njajan — meski
pun nasi campur jagung dipopulerken. Soto atow satenya misalnya masih ‘murni’
dan ‘belon ditunggangi.’ Resep mie godog dan baksonya Cina kagak dipengaruh
oleh paham Maoisme.

T: Bagaimana pengaruh berita di media massa (koran, radio, TV) sejauh yang
anda ingat? Apakah ada perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah G-30-S?

J: Ya jelas dong ada bedanya. Sebelon Gay-30S pemberitaan di media massa cuma
bernafasken kerepolusioner-repolusioneran. Setelah Gay-30S mulai liberal dan
bernafasken napsu birahi. Pilem-pilem koboi dan James Bond penuh cewek
bahenol dan berwajah syahdu jadi laris keras. Menggusur pilem-pilem dari
Eropa Timur dan dataran Cina yang penampilan cewek-ceweknya ‘sepo’ dan galak
pula. Kacowlah.

The Beatles atow Koes Ploes boleh ngak-ngik-ngok lagi. Rasanya jadi serba
normal kembali lah, nggak usah membuang tenaga buat ikut-ikutan pawai atow
menyabung nyawa via jurus ‘Vivere Pericoloso.’ Ini istilah muncul dalam
Pidato Bung Karno, artinya “Hidup nyerempet-nyerempet bahaya.” Padahal kala
itu saya masih ada pakai celana kampret.

Yang jelas, setelah Gay-30S dan setelah ketahuan ‘belang’nya PKI, media massa
jadi ramai memberitaken hari-hari terakhirnya geng komunis. Suasananya jadi
panas dingin, ketika kekejaman komunis mengedel-edel enam Jendral di lubang
buaya ketahuan. Di sana juga diberitaken kisah seperti jagonya para Jendral
yang digerus — dielus-elus dulu lantas dipotong. Saya juga mengikuti
sidang-sidang Mahmilub lewat radio. Yang saya inget misalnya penyidangannya
Subandrio, kesohor dipanggil Durna. Yang dikagumi bokap kala itu adalah
Mister Yap, yang meski bukan komunis, tapi ngebelain mereka-mereka di
pengadilan.

Sesudah Gay-30S pecah, suasananya ya jadi super tegang. Saya menyaksiken
keanehan, sebab bokap lah yang memerintahken menutup pintu dan jendela ketika
malam tiba. Biasanya sekitar jam 22.00. Bokap cuma bilang, ada sesuatu yang
aneh di Jakarta. Kita sekeluarga penuh was-was dan saya punya bulu tengkuk
ada bergidik penuh idih-idih. Mokap dan adik saya yang perempuan jadi lebih
kenceng sembahyangnya — meski pun sembahyang itu juga dilakuken sewaktu
konfrontasi dengan geng komunis sebelon Gay-30S meletus. Kalow bokap dan
kedua adik saya enggak. Karena dirasa nggak cukup, lantas mokap malam-malam
mbakar kemenyan, dan membakar dupa di bawah pohon beringin yang terletak di
pekarangan blakang rumah.

OKTOBER 1965

T: Dalam artikel anda disebut suasana di Ngadirejo dan daerah sekitarnya
(Kediri, Tulungagung, Blitar) sangat tegang pada tgl 1 Oktober itu. Tetapi
selama dua minggu tidak terjadi bentrokan fisik. Setelah dua minggu itu
terjadi satu kali bentrokan fisik. Bisakah anda menceritakan kembali
bentrokan pertama sekitar tgl 15 Oktober itu? Apa sebabnya?

J: Berita betapa kejamnya PKI membunuh para Jendral, terutama putrinya
Jendral Nasution, kan merupakan satu bukti akan kekejaman PKI. Sebelonnya
kebueenciaan kita terhadap geng komunis kan sudah mbludak sekali. Lha ini
kontol jendral kok dicopot segala?! Wuaaah, keterlaluan!

T: Siapa yang memulai kekerasan? Dan bagaimana bisa berhenti?

J: Waktu itu, tentu saja kita bersyukur, bahwa geng non-komunislah yang
memulai tindak kekerasan. Sebab, kala itu semboyannya, “Kalow nggak kita
duluan, komunis lah yang bakal ngeduluin.” Jadi, huajaaar dulu! Apalagi, saya
dengar, PKI sudah ada menyediaken ‘Lubang Buaya’ buat kluwarga saya.

Seingat saya, bentrokan pertama terjadi di Kediri. Pihak NU yang mengambil
inisiatif, yang kemudian diikuti oleh kaum Marhaen. Rencananya berdemonstrasi
ganyang komunis. Selaen itu, minta tumbal satu jendral dituker sama 100.000
nyawa PKI.

T: Apa yang kemudian terjadi?

J: Tapi yang terjadi bukan demonstrasi damai. Melaenken huajar-huajaaaran!
Gedung-gedung partai komunis dan perkumpulan-perkumpulan Cina yang akrab sama
komunis ada dihancur-leburken. Akibatnya, komunis-komunis yang
mempertahanken markasnya pada jontor semua. Suasana kota Kediri jadi tegang
dan panas-dingin. Kenapa para demonstran bisa berhenti? Ya, targetnya sudah
tercapai. Semua sudah dibumi-rataken. Beberapa orang komunis sudah menjadi
bangkai, kalau nggak salah 11 orang. Lantas mau apa lagi?

T: Bagaimana sikap polisi dan tentara waktu itu?

J: Tentara dan polisi jelas memihak geng non-komunis. Kadang-kadang saja
mereka ada kelihatan sibuk menenangken. Cuma, kalow nggak berpihak, ya gimana
ada jiwa bisa melayang-layang dan bangkai-bangkai bisa berserakan?

NOPEMBER 1965
T: Setelah bentrokan pertama tgl 15 Oktober itu, menurut catatan anda ada 3
sampai 4 minggu yang ‘tenang’ walaupun sangat tegang. Sejauh yang anda tahu,
apa yang dirasakan oleh masyarakat pada saat tenang tapi tegang ini?

J: Saya nggak tahu apa yang dirasaken dalam masyarakat. Tapi di sekolah saya,
SMA Negeri I, kita sempat berdebat sama anggota-anggota IPPI yang
onderbouwnya PKI. Kita langsung melabrak mereka, bahwa PKI ada terlibat dalam
pembunuhan para jenderal dan putrinya Pak Nas. Tapi anggota-anggota IPPI
malah menyalahken Dewan Jendral.

T: Setelah 3-4 minggu yang tegang tapi tanpa bentrokan fisik itu, kemudian
terjadi pembantaian di mana-mana. Bisakah anda ceritakan kembali sejauh yang
anda tahu dan anda ingat? Apakah diantara yang membunuh dan dibunuh itu ada
yang saling kenal? Kalau iya, faktor apa yang membuat mereka sampai hati
melakukannya?

J: Setelah bentrokan pertama itu, keadaan tenang sebentar. Cuma, seperti api
dalam sekam, dan malam harinya ada terasa mencekam. Biasanya, saya dan
teman-teman kompleks pabrik gula, ada suka kluwar malam, ada melakuken
operasi nyolong ayam atow tebu, maka, dengan adanya gentayangan Gay-30S itu,
kita jadinya pada menghentiken operasi. Setelah itu operasi pembersihan
dilakuken malam-malam. Desa-desa yang diduga ada anggota geng Gay-30Snya,
lantas dikepung. Kalow sudah dapet orang-orang yang dicari, biasanya dibawa
ke Sungai Brantas.

Saya ada punya sahabat karib (kita duduk sebangku di klas dan di blakang
sekali, berhubung untuk memperlancar urusan ngerpek), tinggalnya di Pare, 25
kilometer sebelah Timur Kediri. Dia itu menganut Gereja Kristen Jawi,
indekosnya di Kediri. Nah, menurut penuturan teman ini, di Pare, anggota geng
komunis itu dibawa ke satu lokasi. Di situ sudah disediaken lobang besar.
Saya masih ingat, sahabat karib saya itu pernah menunjukken letaknya, di
bawah pohon gede, di dekat jalan antara Pare dan Gurah. Ya, kalow sudah
sampai ke tempat eksekusi, komunis-komunis itu lantas dijadiken bancakan.
Satu persatu dicoblosin, kayak nyoblos gambar pemilu. Atow dipenggalin,
sambil didorong, gayanya kayak maen golf. Dus, gayanya semacam melakuken
eksperimen. Yang belon dicoba, ya dijajal lah.

Banyak yang dicemplungken ke Sungai Brantas. Pagi-pagi kalow saya ke sekolah
atow siang-siang pulang dari sekolah (karena kalow ke SMA saya, saya harus
ada melalui Kali Brantas), selalu ada tontonan mayat mengapung. Mereka
umumnya diikat sama bambu, supaya bisa berenang dan nggak tenggelam lah.
Teknologinya canggih juga. Gayanya macem-macem: ada yang tanpa kepala, ada
yang ususnya terurai kluwar, ada yang belah dua.

Tontonan begini jelas membikin hati orang keder, dan terang membuat geng
komunis yang masih hidup cepat rontok mentalnya. Tapi meski pun tiap hari
dipertontonken mayat-mayat bermacem-macem adegan begitu, saya masih bisa
makan dengan lahap. Kawan-kawan saya juga begitu. Padahal gaya orang-orang
komunis menjadi almarhum itu selalu ada di kepala. Kayaknya menjagal mereka
terasa seperti sesuatu yang lumrah. Seperti olahragalah.

Sebagai seorang muslim yang baek saat itu, saya pribadi berpendapat, bahwa
memang sewajarnyalah membunuhi Komunis. Sebab komunis itu ateis. Lagipula,
pidato Pak Nas sangat mengesanken. Dia bilang, “Fitnah itu lebih kejam
daripada pembunuhan.” PKI telah melakuken fitnahan terhadap bokap saya. Dus,
saya memang sudah benci sama PKI. Begitu pula dengan kawan-kawan saya sekelas
yang anggota organisasinya PNI, NU, Muhammadiyah atow Partai Kristen.

Dalam soal ini, menurut ingatan saya, PKI sangat agresif. Dari dendam kesumat
ini, akhirnya dianggap wajarlah pembunuhan-pembunuhan yang mengeriken: kepala
dipancung, usus diedel-edel, turuk (vagina) ditusuk bambu runcing. Ini nggak
ada bedanya dengan nggebukin maling yang ketangkep basah. Rasanya, makin lama
korban ada tersiksa, makin nikmat lah pembalasan dendamnya.

Waktu itu, kita yang masih muda belia pun maennya juga hal-hal yang horor.
Dikasih pelajaran kimia tentang aer raksa, eeee, kita colong aernya untuk
diprakteken ke katak. Kataknya menggelepar-gelepar, eee kitanya senang. Kita
sengaja cari anjing cowok dan cewek, lantas disuruh ngewek. Dan ketika kedua
anjing sedang empot-empotan, lantas kita lemparin batu, dan langsung copot
terus anjingnya pun kaing-kaingan. Eee kitanya malahan senang. Saya nggak
tahu, darimana saya atow yang laen ketitisan sadisme itu.

Makanya, waktu PKI ada disikat, ada yang sudah membayangken disobekin dulu
kulitnya, lantas dikasih garam. Sayangnya, begitu kata orang-orang, kita
nggak ada aer laut. Karena sewot dan dendamnya sudah on thought dan menjadi
second dendam, maka apalah artinya kenal dan saling mengenal. Kita semua di
sekolah pun atow dalam kehidupan sehari-hari terbagi ke dalam geng-geng. Kita
ada kenal siapa anggota IPPI, kita ada kenal siapa guru kita yang PGRI
onderbouwnya PKI. Jadi waktu pembersihan ya gampang dong, wong mereka
ketahuan kok belangnya.

T: Menurut pengamatan Bung apakah para korban itu semuanya benar-benar PKI
atau hanya karena dilabeli PKI?

J: Wah mana saya tahu. Cuma saya mendengar, ada yang keliru kecoblos. Nama
sama, eee ternyata orang PNI. Berabe betul. Dari bokap, saya mendengar, satu
kali kepala polisi Kediri datang bertandang ke rumah dan bilang, “Pak, kalow
bapak punya musuh, bilang saja. Lebih baek sekarang dihabisi.” Bokap cuma
geleng-geleng kepala.

T: Untuk melakukan pembunuhan sebagaimana Bung gambarkan tentunya mereka
memerlukan peralatan dan angkutan. Sejauh Bung tahu apakah mereka yang
melakukan penggropyokan itu dapat memenuhi sendiri semua peralatan dan
kendaraan yang diperlukan?

J: Peralatan apa sih? Wong model pembunuhannya juga maen kroyok — kayak
ngroyok maling yang kepergok basah kuyup. Jadi, kalow Ansor-Ansor dari
pesantren tertentu turun gunung, gabung dengan geng yang laen, umpamanya dari
Pemuda Marhaen, maka jumlahnya bisa mencapai ribuan. Jadi tiga ribu misalnya,
lantas mengepung desa. Dus jurus PKI ala Mbah Mao, yaitu desa mengepung kota,
sudah kena skak maat duluan. Desa yang diduga jadi surga kumpul kebonya PKI,
diserbu duluan. Lantas laskar PKI dicidukin lah, dan rata-rata mereka kagak
melawan.

Anehnya, kalow mereka demonstrasi, tereak-tereaknya revolusioner sekali. Cuma
ketika Pahlawan Revolusi sudah skak maat duluan, dan pembalasan datang,
banyak PKI yang menangis tersendu-sendu, minta dikasih panjang umur. Cuma, ya
sudah telat. Saya dengar dari teman saya yang jadi algojo, ada satu-dua biji
saja yang ngelawan, kayak orang kesurupan. Cuma katanya nasibnya jadi kayak
ayam dipotong. Menggelepar-gelepar.

Habis, para pahlawan revolusi dan putri Pak Nas yang berusia tiga taon sudah
jadi korban, maka mereka pun harus merelaken jiwanya dong. Kalow satu desa
ketangkep sepuluh, arit, pisow, bambu runcing, gada rujakpolo pun ada cukup
laah buat menghabisi nyawa mereka. Banyak PKI yang pada ngacrit ke Surabaya,
sehingga lolos dari pencoblosan.

Ada yang lari ke Kodim di dekat gedung bioskop Wijaya Kediri (jalannya lupa
lagi), dekat perampatan jalan Dhaha. Cuma, sel di sana ya nggak sanggup
nampung. Kalow mau, asal ada kendaraan, malem-malem orang PKI itu boleh
dicomot sesuka hati.

T: Bagaimana sikap atau peranan polisi dan tentara (Kodim) selama masa
pembunuhan itu berlangsung?

J: Tentara dan Polisi rasanya berpangku tangan. Malahan mereka diam-diam
membantu. Saya pernah ngeliat satu ketika tentara membawa muatan penuh
orang-orang PKI dalam satu truk terbuka ke gunung Klotok. Sekembali dari sana
truknya kosong. Kabarnya mereka sudah dibrondong habis

SIKAP AYAH

T: Bagaimana sikap ayah anda sendiri ketika orang-orang PKI yang tadinya
memusuhi keluarga anda itu dikejar-kejar?

J: Ya, itulah keheran-heranan saya. Bokap justru banyak melindungi
orang-orang SBG, ormas buruhnya PKI. Saya ingat bagaimana bokap menampung dan
menginapken buruh-buruh pabrik gula gengnya komunis di gedung pertemuan para
employee pabrik gula. Lantas, suatu ketika bokap ada memerentahken saya untuk
menjemput Pak Hariyo, seorang employee yang tinggal bertetanggaan dengan
rumah kita, letaknya di sebelah Utara rumah kita, ketika terdengar dia mau
digorok oleh geng non-komunis. Cuma, waktu dia punya pintu saya gedor-gedor,
dia kagak bukain. Akhirnya, keesokan harinya, pagi-pagi sekali bokap sendiri
yang ke sana. Dia langsung ada bawa Pak Hariyo ke Surabaya dan disembunyiken
di sana.

Riwayat Pak Hariyo ini sungguh mengenasken. Dia tadinya pegawai administrasi
pabrik gula tingkat bawahan, dan tinggalnya di Margersari, kompleks para
buruh gula. Oleh bokap saya, dia dinaekken pangkat jadi employee, dan
kemudian boleh mendiami rumah employee di sebelah rumah kita. Pak Hariyo ini
aktivis dan tokoh SBG, dan anaknya ada sembilan kalow nggak salah. Orangnya
lebih tua ketimbang bokap, rambutnya sudah putih, eee masih punya bayi pula.
Waktu bokap dinaekken pangkat jadi Direktur Utama dan dipindahken ke
Surabaya, kemudian jadi Inspektur Pabrik Gula, saya dengar bokap masih
sering menengok Pak Hariyo. Dia jadi pedagang eceran di satu tempat yang
bokap tak mau sebut. Bokap cuma cerita, kasihan nasibnya. Bokap ada sering
ngasih duit.

T: Bagaimana pendapat Bung sekarang tentang rumor atau ancaman bahwa keluarga
Kartawidjaja sudah dipersiapkan Lubang Buaya?

J: Lho, saya sih percaya betul bahwa geng Gay-30S ada telah menyiapken Lubang
Buaya buat kita. Habis, menurut saya ada perasaan, kelakuannya sebelon
peristiwa meletus sangat kasar. Tidak ketimur-timuran lah. Kalow ditanya apa
betul rumor tentang Lubang Buaya yang disiapken buat kita punya kluwarga?
Wah, mana saya tahu? Kalow nggak percaya, ya sulit buat saya. Sebab PKI itu
buencinya bukan maen sama bokap. Kalow geng kita saja bisa menjagal komunis
demikian sadisnya, maka saya percaya, bahwa pihak sono pun bisa berbuat yang
sama.

Saya ngelihat, seni orang kita nyiksa atow ngebunuh itu memang ngeri sekali
kok. Janganken waktu jaman gegeran itu. Sekarang kita bisa baca bagaimana
cara pembunuhan yang ada di media massa. Ada mayat dipotong-potong lah, ada
yang disiksa lantas disuruh ngejilatin air kencingnya atow melahap tinjanya
sendiri lah. Kayaknya, menurut perasaan saya, setelah merdeka 51 taon ini, di
bidang ini tak ada perubahan. Padahal, ada Komnas-Ham segala.

SIKAP KAKAK

T: Bagaimana hubungan anda sendiri sebagai aktivis GSNI yang pro Bung Karno
dengan kakak anda di Bandung yang menjadi aktivis KAMI?

J: Panas-dinginlah. Mula-mula baek. Habis justru PNI di Kediri itulah yang
termasuk ngebelain bokap dan turut menghancurken Komunis. Kakak saya datang
kemudian, ketika Orde Baru sudah kelihatan menang. Lama kelamaan saya jadi
bingung, kok KAMI sekarang melabrak PNI segala? Karena itu sama kakak saya,
saya habis dipermak. Dia bisa mengurai secara detail kesalahan-kesalahan Bung
Karno. Saya bungkam, nggak punya argumen. Lagian secara kekluwargaan pun
hubungan ya kurang harmonis. Soalnya kakak suka ngasih banyak larangan dan
ngasih perentah.

ANAK TERLANTAR

T: Anda membuat catatan tentang anak-anak terlantar yang mengemis di
sepanjang rel kereta api di Kertosono. Bisa tolong anda ceritakan kembali
tentang mereka? Bukankah keadaan ekonomi Indonesia saat itu memang sangat
parah?

J: Setiap Lebaran, kluwarga kita selalu pergi ke Bandung dan ke Rajamandala.
Karena saya sudah ada di SMA taon 1966 dan begitu juga taon 1967, maka waktu
bulan puasa dan liburan sekolah, saya ada pergi sendiri ke Bandung. Kluwarga
menyusul kemudian. Kalow ke Bandung, saya harus nyegat kereta api dari
Kertosono. Di sepanjang jalan kereta api ke barat setasion, saya banyak
menyaksiken anak-anak kecil (tadinya nggak ada tuh) yang mengemis meminta
makanan, kalow kereta api lewat.

Di Bandung, saya kebetulan punya kluwarga banyak. Salah satunya tinggal dekat
setasion. Satu kali, iseng-iseng sama emang (paman) saya ke setasion, dan
ngluyur di antara gerbong-gerbong kereta api yang nganggur. Di sana kami
banyak menemui juga anak-anak kecil terlantar. Mereka cerita, bahwa mereka
berasal dari berbagai daerah. Mereka juga cerita, bahwa orangtua mereka sudah
nggak ada. Memang keadaan ekonomi waktu itu parah dan banyak pengemis. Tapi
gerombolan anak-anak kecil di stasiun kereta api Kertosono itu, baru saya
lihat pertama kali. Dan itu pun setelah Gay-30S.

TAHUN 1966-67

T: Setahun setelah pembunuhan massal itu, RPKAD datang dan mendirikan markas
di Kediri. Sasaran berikut adalah PNI yang pro Bung Karno. Bisakah anda
ceritakan tentang tahun 1966 ini. Menurut anda mengapa PNI yang sudah bantu
menghabiskan PKI itu kemudian menjadi sasaran?

J: Itu lah yang kagak saya mengerti. Knapa bersamaan dengan RPKAD datang, kok
PNI yang ada jadi sasaran usrek-usreknya RPKAD?. Waktu itu, PNI di Jakarta
terpecah menjadi geng A-SU (Ali Sastroamidjojo dan Surachman) dan geng
Osa-Usep (Osa Maliki dan Usep Ranuwijaya). Kita yang di Kediri semboyannya,
enggak ikut siapa-siapa. Tapi pokoknya ada di blakang Bung Karno. Maunya
berdiri di tengah, eeee akhirnya jadi terengah-engah. Lha, Bung Karnonya
sendiri lama kelamaan tambah kepepet.

Satu ketika sekolah dengan berbagai organisasinya, ikut rapat raksasa
merayaken kemenangan Orba di stadion bal-balan Kediri. Tentu saya ikut GSNI.
Sampai di sana, eee, kita dicaci maki sebagai Orde Lama. Ganyang PNI segala
macam. Suasananya panas. Saya ada takut. Diam-diam, saya lantas ngacrit dari
sana. Pokoknya bingung. Di sekolah pun pada hari-hari kemudian, saya
dicari-cari sama anak-anak KAPPI. Meski pun saya tidak digebuki, berkat
peranan bokap saya yang dianggap kluwarga besar NU, tapi saya keder juga.
Saya ditanyain macem-macemlah. Siapa saja yang anggota GSNI. Dan karena
gemetaran, saya ngoceh. Itulah sebabnya, banyak teman-teman dari GSNI yang
kemudian mencap saya sebagai pengkhianat.

Pengalaman jadi pengkhianat inilah yang bikin saya resah. Juga sampai
sekarang, meskipun saya selalu menghibur diri, ah itu kan dosa remaja. Benar,
kawan-kawan saya yang GSNI itu tak diapa-apaken. Artinya kagak dibunuh kayak
PKI. Tapi merekapun pada jadi susah hidupnya. Inilah yang membuat saya merasa
berhutang nyawa juga.

KAMI DAN KAPPI

T: Apa peranan KAMI dan KAPPI?

J: Wah, mereka jadi ganas terhadap kita. Mungkin karena ada di pihak yang
menang, dan dibeking pula sama RPKAD. Ganasnya seperti kita terhadap PKI,
waktu kita menjadi pihak pemenang. Makanya geng PNI bisa agak bernafas
sebentar waktu KKO mulai bentrok melawan RPKAD. Kabarnya, keoklah itu RPKAD.
Saya mendengar, rumahnya Jendral Yasin, Pangdam Jatim pun kala itu, diserbu
KKO (Korps Komando Operasi, sekarang namanya pasukan Marinir kalow nggak
salah). Gudang berasnya pun habis diobrak-abrik. Untung Jendral Yasin sedang
ada di Tretes. KKO rupanya balas dendam. Sudah susah payang berjuang
mengganyang Malaysia, pulang kampung, eee ternyata banyak kluwarga mereka
yang mampus. Kabarnya memang banyak anggota PKI atow PNI yang masuk KKO.

T: Apa yang dikerjakan oleh RPKAD waktu itu?

J: Melakuken pembersihan-pembersihan terhadap unsur-unsur Orde Lama. Mereka
rata-rata pada menyamar. Yang kagak menyamar dan memperagaken diri dengan
baret merahnya, pernah aksi-aksian melempar pisow di depan gedung PNI yang
kacanya sudah hancur dan ditutup kayu (di jalan Dhaha, pojok gang, Utara
Setasiun). Gangnya apa saya lupa. Di sana dulu ada warung Cina yang enak,
tempat saya ada makan mie godok. Di sana juga ada lapangan tenis dan pabrik
rokok kretek.

RPKAD alias Resimen Para Komando Angkatan Darat (kini namanya Kopassus) kan
kesohor sebagai pelempar pisow yahut. Sekali lempar, kabarnya langsung
nancap. Cuma, waktu mereka demonstrasi sore-sore di depan gedung PNI yang
udah hancur itu, ada beberapa pisow yang nggak nancep. Teman-teman PNI yang
ngeliat dari kejauhan, ya senang dong. Katanya, kalow bisanya cuma sebegitu,
ya “Aku yo iso rek!” (saya juga bisa, bung!).

MASUK BUI

T: Mengapa anda sempat ditahan dan dijebloskan ke penjara pada tahun 1967?

J: Ceritanya, SMA Negeri I ikut pawailah. Kalow nggak salah 17 Agustusan
begitu. Karena pawai kita pun boleh mengenaken pakaian macem-macem. Saya
pakai blangkon dan surjan, celananya ala The Beatles. Ada teman yang
berdandan ala wak haji. Saya ditunjuk jadi kepala pasukan.

Nah, dari alun-alun Kabupaten slatan Kediri kita start, dan finishnya ya di
alun-alun lagi. Waktu itu saya senang sekali karena penonton tertawa dan
tepuk-tepuk melihat pawai sekolah kita. Waktu sampai kembali di alun-alun,
saya dapat kabar, teman yang berpakaian wak haji hilang, dicomot sama
kelompok Ansor di jalan Dhaha.

Celakanya, sebagai kepala romobongan saya dilarang meninggalken lapangan,
padahal hari matahari sudah hampir tenggelam sore itu, dan saya siap kabur
pulang ke Ngadirejo. Saya harus mempertanggung-jawabken hilangnya anggota
pasukan. Waktu itu saya menyumpah-serapah. Tahu begitu, lebih baek saya
nggak jadi kepala pasukan. Lantas saya ada harus menghadap Kodim, yang waktu
itu markasnya ada di bekas sekolah Cina. Jadi, kalau jalan Dhaha habis di
sebelah selatan, ada perampatan. Ada jalan ke sebelah Barat. Nah di situ
markasnya Kodim.

Dari Pak Tentara yang ngenterogasi (ada empat biji alias dua orang), saya
dengar, bahwa anggota pasukan saya yang diambil sama Ansor itu, diperkaraken
karena menghina. Sudah pakaian wak haji, eee dia ada ngitung-ngitung duit
pula. Apa saya ada tahu? Sebagai kepala pasukan, saya tokh musti tahu, dan
mencegah hal-hal yang dapat menghina. Saya bilang, mana saya ada tahu. Wong
saya barisnya paling depan, sedangken teman itu paling blakang. Mana lagi,
mana kepikiran ngitung-ngitung duit begitu dapat dianggap menghina? Yang
penting kan memeriahken suasana, bikin orang ketawa.

Setelah itu interogasinya merembet kekeanggotaan organisasi saya. GSNI dan
PNI lah ditanya-tanya, seperti halnya kelakuan KAPPI di sekolah. Saya ya ada
ndredeg, habis wibawanya Pak Tentara ada bukan maen. Namanya ya pak
Integrator, luar biasa seksinya. Ya saya menyanyilah. Entah lagu apa yang
saya dendangken kala itu. Saya nggak peduli lagi, apa yang saya ocehken itu
merupaken pengkhianatan atow bukan. Pokoknya, saya cari slamat. Itu jelas
dong. Dengan harapan bisa pulang. Mana lagi lapar.

Eee, setelah berjam-jam diinterogasi, lantas saya dipersilahken masuk sel. Di
sana saya ketemu sama temen yang diciduk itu. Kami berdua lantas dikunci
dari luar. Temen saya mencoba menerima nasib dengan enteng. Enak juga
katanya, biasanya kita ngunci sendiri pintu kamar, eee sekarang kamar kita
ada yang ngunciin. Cuma, setelah itu dia ada maki-maki: “Wong teman sendiri
kok diculik.”

Maklum, teman saya ini aktivis Pelajarnya Muhammadiyah dan anggota KAPPI
pula. Seingat saya, dia ini anaknya yang punya toko kain di jalan Dhaha,
Kediri. Malamnya kita nggak bisa tidur. Perkaranya, kita dengar cerita dari
penjaga sel, bahwa di sel itu ada yang gantung diri. Jadinya, semalam sibuk
komat-kamit baca-baca ayat-ayat Qur’an, supaya tamu yang nggak dikenal jangan
datang donk. Apalagi, menurut kepercayaan waktu itu, laskar Gay-30S pasti lah
jadi genderuwo, dan yang Gerwani jadi wewegombel.

Keesokan harinya, kita dapet sarapan. Ceritanya, soto daging. Tapi, pas masuk
mulut, lantas kita muntahken lagi ke piring. Bah, baunya busuk sekali, dan
rasanya anyir. Baru ketahuan kalow itu makanan sisa. Teman sesel saya lantas
mencoba menghibur diri, “Jangan-jangan soto dagingnya itu soto mayat
komunis”.

Maka, waktu siang dikasih makan daging, kita berdua jadi pada sibuk meneliti
daging yang disodorken. Daging Gerwani, apa daging hewani? Lagi-lagi kita
nyumpah-nyumpah. Mau makan saja repot. Untungnya, pada malam harinya saya
dibebasken. Ini semua berkat usaha mokap saya yang punya kolusi ke mana-mana.
Sedangken teman saya harus ada mendekam seminggu lebih lama. Karena peristiwa
ini, saya pun ogah politik-politikan. Saya kluwar dari GSNI, dan saya nggak
masuk KAPPI

MAHASISWA ITB, 1970

T: Setelah menjadi mahasiswa ITB, satu-satunya pengalaman yang anda catat
dalam tulisan anda adalah tentang pembunuhan Rene Louis Conrad tahun 1970.
Bisakah anda ceritakan kembali peristiwa ini? Mengapa peristiwa ini sangat
mengesankan bagi anda?

J: Mengesanken karena waktu itu terlihat kecenderungan bagaimana tentara
mulai menyapu kawan-kawan se-gengnya. Di kalangan mahasiswa ITB kala itu,
memang ada rasa ketidak puasan terhadap militer. Apalagi, kita benci sama
kurikulum Wajib Latih Mahasiswa (Walawa). Mana waktu di SMA sudah
militer-militeran, kok sekarang dipaksa mengenaken baju ijow. Apalagi kita
sengaja pengen kursus jadi insinyur, supaya nggak jadi tentara kok.

Lantas, janji-janji Orde Baru buat memperbaiki Orde Lama itu ternyata cuma
rayuan gombal doang. Militer mulai merajalela. Lantas, bokap saya digeser
sama jenderal. Nah, menjelang peristiwa Rene, ada razia besar-besaran yang
dilakuken oleh pihak kepolisian terhadap mahasiswa berambut gondrong. Yang
melaksaneken operasinya adalah Akabri Polisi (entah dulu namanya apa) yang
sedang praktek.

Jadi, di jalan-jalan mahasiswa digunduli. Keadaan jadi tegang. Rencananya,
mau diadaken rekonsiliasi. Jadi Akabri Polisi maen bal-balan melawan ITB.
Cuma dalam kesempatan itu mahasiswa Bandung ada balas dendam. Mahasiswa dari
perguruan laen pun pada datang, seperti Unpad dan Unpar. Ada yang bawa
gunting segala. Lantas mereka mengejek-ngejek, minta digunduli.

Tentu, AKABRI Polisinya jadi sewot, marah, lantas mengeluarken pestol segala.
Lantas mereka diusir kluwar kampus. Eee ndak tahunya mereka manggil
balabantuan. Brimob pun datang. Yang sial itu si Rene. Dia nggak nonton
bal-balan, tapi keliling kampus, show of force dengan sepeda motor Harley
Davidsonnya. Di depan kampus, pas ada ribut-ribut, eeee Rene lewat situ. Dia
ada didor-dor segala.

Lantas kabarnya, mayatnya dibuang ke atas kendaraan polisi begitu saja,
kemudian ditaruh di gudang. Katanya, kalow langsung dibawa ke dokter, mungkin
dia masih bisa hidup. Ini yang menyulut kemarahan para mahasiswa ITB. Waktu
peristiwa dor-doran begitu saya sudah ngacrit kabur dengan Vespa saya. Saya
kos di jalan Purnawirawan kalow nggak salah. Dekat ITB juga.

Lantas, setelah itu kita demonstrasi besar-besaran. Kita nyegatin oplet.
Kalow ada tentara yang naek, kita tanya, “Bayar enggak?!” Kalow nggak bayar,
kita usir. Polisi yang markasnya di jalan Dago pun pada ngacrit. Mereka
sembunyi semua. Panser-panser yang dikerahken menghadang demonstranpun kagak
berdaya apa-apa. Luar biasa massa yang turun ke jalan. Untuk menjaga segala
kemungkinan, saya demonstrasinya di tengah-tengah.

Setelah terbunuhnya Rene, baru ketahuan, kalow yang ngedor Rene katanya
adalah Akabri Polisi itu. Cuma, karena dia anak Jindrol, maka yang
dikorbanken adalah krucuknya Brimob itu. Makanya, di pengadilan — waktu itu
yang jadi advokat Abang Biyung Nasution kalow nggak salah — para mahasiswa
ada sorak-sorak, menyaksiken ketidak adilan yang sedang dipentasken itu.
Akhirnya, anggota laskar Brimob yang dikorbanken itu dipecat dan masuk bui.
Karenanya, para mahasiswa ITB lantas bikin solidaritas buat anggota laskar
Brimob ini. Mereka pada mengumpulken sumbangan buat anak istrinya. Orde Baru
sudah menampakken kebauannya.

JERMAN BARAT 1980-AN

T: Bung menulis artikel itu dua puluh tahun setelah peristiwa pembunuhan
massal dan setelah bermukim di Jerman Barat cukup lama. Apa yang mendorong
Bung menulisnya?

J: Sampai artikel itu diturunken, saya aktif di PPI Cabe (singkatan Cabang
Berlin) sudah tujuh taon. Kala itu PPI Cabe dinilai sebagai PPI ternakal di
Jerman Barat. Yang mengheranken tentunya, perwakilan kita jadi mencak-mencak.
Berbagai usaha perwakilan dan utusan-utusan dari Jakarta untuk ‘menjinakken’
PPI Cabe sampai saat itu gagal terus. Dari mulai bujukan kolusi, tawaran
kerja, sampai ke gertakan halus ekstra sopan ala Timur dan tuduhan ‘komunis.’
Malahan, dari pendekatan-pendekatan persuasif ala hombreng ini, anak-anak
nakal itulah yang selalu meraub rejeki. Mereka disodorin dan ditraktir
santapan nikmat terus: udang, sate atow steak Argentina, plus rokok kretek
dan rokok putih.

Sejak taon 1981 terdapat peningkatan kegiatan utusan Jakarta bergerak-gerik
di Jerman Barat dan Berlin Barat. Staf Ahlinya Menmudurmud (Menteri Muda
Urusan Pemuda) Abdul Gafur, ikut campur dan turun tangan sendiri, serta
melancarken aksi-aksi sepihak seperti gertak sana dan gertak sini. Aksi
sepihak, lantaran yang digertakin ya cuma anak-anak nakal melulu. Bahkan
beberapa aktivis PPI diancam mau ‘dibuntungi’ segala dan tak sedikit yang
diperkasai oleh Bakin-bakin. Pendek kata, kenakalan PPI Cabe kurang berkenan
di hati para penguasa Republik.

Ini mungkin berkaitan dengan gebrakan-gebrakan NKK/BKK di tanah aer.
Bersamaan itu digalakken pula aksi sepihak gapermen, yaitu menggelar
Penataran P4. Dalam hal ini PPI Cabe selalu menolak diajak menyelenggaraken
karena bertentangan dengan AD/ART PPI Jerman Barat. Itulah pasalnya, isu-isu
pengkomunisan sebelonnya terhadap PPI Cabe jadi ngepas. PPI Cabe itu dituding
anti-Pancasila dan komunis. Dalam gegeran ini, saya dianggap ‘paling seksi,
paling bahenol atow paling sintal.’ Padahal semua tahu bahwa saya waktu itu
adalah pemuda kerempeng dan tepos.

Sejak awal tahun 1983, perwakilan RI di Berbar alias Berlin Barat mengalami
revolusi. Konsulat dirubah menjadi Konsulat Jenderal. Konsulnya bukan lagi
pejabat Deplu, melaenken perwira menengah tentara dan Bakin. Kebijaksanaan
barunya pun selalu bernafasken Kong Fu Lat. Gebrakan-gebrakannya bukan ala
Timur, tapi ala Timor dan karenanya Konjen RI Berbar jadi Konjen RI Barbar.

Selaen itu, pertengahan taon 1982, iklim politik di Jerman Barat (juga
Berbar) pun kebetulan berubah. Gapermen Partai Sosial Demokrat di bawah
Kanselir Helmut Schmidt terjungkal. Diganti sama gapermen Kristen di bawah
pimpinan Kanselir Helmut Kohl. Jangan heran, kalow umpamanya taon 83, Wakil
Konjen Berbar bisa sesumbar bahwa gapermen Jerman itu Kristen, jadi “Kita
bisa berbuat semaunya.”

Awal taon 1983 itulah Pak Bakin mulai nembakin usia paspor beberapa aktivis
PPI Cabe, yang waktu itu biasanya berusia dua taon. Saya dan teman se-flat
cuma dikasih perpanjangan paspor enam bulan, seorang teman laen dibonusin
satu taon. Sebelon kita bertiga ditembakin paspornya, akhir taon 82, seorang
aktivis PPI Berbar yang kebetulan mudik ke Tanah Jawa dan dianggap ‘seksi,
sintal dan bahenol’, dicekal, dan nggak boleh kembali ke Berbar. Sementara
dua kawan saya itu pada perpanjangan paspor di kemudian harinya dikasih
normal kembali, saya terus dikasih enam bulan, yang akhirnya dicabut pada
pada awal taon 1987.

Selaen nggebukin saya punya paspor, Pak Bakin (dan ini bedanya dengan
sebelon-sebelonnya) turun tangan sendiri. Dia dan wakilnya ada ngoceh terus
menerus, bahwa saya ini ‘komunis.’ Konsep mereka jelas: yang ‘paling seksi,
paling bahenol atow paling sintal’ digrayangi dulu. Isu ini kebetulan ngepas,
oleh sebab pertengahan taon 1983 saya kawin sama seorang putri mantan Atase
Pendidikan dan Kebudayaan di Praha pada jaman Orla. Karena mertua dituduh
mantan komunis, katanya, saya, wow, jelas ditunggangi sama roh jahanam itu.
Mungkin Pak Bakin ini menduga mas kawin yang telah saya setorken itu berupa
palu dan arit.

Perkawinan saya dengan putri mantan pejabat Orla ini ternyata juga membikin
tidak sreg beberapa kawan aktivis. Maklumlah, kita bergerak-gerik itu harus
super hati-hati, jangan sampai kita kena penyakit sampar komunis. Puncak dari
pengkomunis-komunisan ini adalah munculnya surat pembaca di majalah PPI Cabe,
yang menuntut penjelasan kedudukan saya yang sebenarnya. Itu lah pasalnya,
beberapa kawan menghasut saya buat bereaksi. Menurut kawan-kawan, ‘pembelaan’
ini katanya perlu, demi mereka juga. Lantaran mereka pun mendapat rongrongan
kurang sedap itu. Cara-cara Pak Bakin itu jelas bukan cara-cara PKI. Sejak
itu, Bakin di Berbar bukan kesohor sebagai Barisan Komunis Indonesia,
melaenkan Badan Koordinasi Intrik.

Tulisan itu, yang kemudian di-Inggerisken dalam majalah Universitas Cornell
taon 85, tidak saya sukai. Ia diturunken karena keterpaksaan. Riwayatnya
begini. Sehabis menulis buku ‘agak alamiah’ (komplit dengan nalar dan
penularan) hikayat PPI Jerman Barat (termasuk PPI Berlin Barat), kawan-kawan
se-geng mendorong saya buat menulis semacam ‘riwayat hidup’ saya dan
gerak-gerik aktivitas di Berlin Barat. Naskahnya selesai taon 82, sudah
dipereksa oleh kawan-kawan dan tinggal diketik kembali. Tapi saya tidak puas.
Karena itu mulai saya garap kembali.

Adapun ‘riwayat hidup’ ini dimaksudkan sebagai pembelaan diri. Mencoba
menjelasken proses sosialisasi mahasiswa/i Indonesiana di Jerman Barat dan
khususnya di Berlin Barat. Juga sebagai ‘pembelaaan diri,’ bahwa PPI sebagai
organisasi sosial-kontrol seperti yang termaktubken dalam AD/ARTnya. Dus,
anggota-anggotanya adalah ‘warganegara.’ Maka adalah lumrah kalow
anggota-anggotanya ngomong politik, terlepas ‘warna’ yang dimiliki
masing-masing.

Seperti diketahui, mahasiswa/i Indonesiana yang studi di JerBar dan BerBar
berbeda dengan yang di Amerika Sarekat misalnya. Rata-rata mereka melarat,
harus mencari nafkah sendiri, kendati pun studinya gratis. Khususnya yang tak
bisa menggantungken kiriman uang dari Indonesiana, mereka menerobos masuk ke
kota-kota besar, seperti BerBar. Dengan harapan di situ mereka mudah mencari
nafkah sambilan. Nah, di dalam kehidupan sehari-harinya itu muncul
konflik-konflik yang tiada dinyana-nyana antara nilai-nilai bangsa kita yang
‘luhur’ dengan nilai-nilai masyarakat Barat yang katanya ‘bobrok’ dan
berlangsung proses sosialisasi plus politisasi.

Jadi, tulisan itu sendiri, karena juga keterbatasan tempat di majalah Gotong
Royong, tidak bisa komplit. Selaen itu, ‘riwayat hidup’ itu dimaksudken
sebagai satu ‘pertanggung-jawaban.’ Artinya, kita yang ngaku-ngaku sebagai
‘warganegara’ dan ‘agen pembangunan’ perlu penilaien dunia luar. Sebab,
sampai saat itu, perusahaan politik yang dibangun oleh gerak-gerik PPI Cabe
tokh berada dalam jaman keemasan, sehingga semakin kelamlah kita punya kaca.
Karena kita hidup di BerBar, maka otokiritiklah yang diharapken, dan dengan
sikon BerBar, semestinya otokritik itu bisa dilakuken.

Lantas, alasan laen kenapa tulisan itu tidak saya sukai adalah dengan
munculnya tulisan itu, berarti gagal lah proyek ‘Aufklaerung’ (pencerahan)
yang pada awal gerak-gerik di PPI Cabe taon 1977 dicanangken. Tadinya
diharapken dengan keberadaan kita di negeri bebas ini kita cuma berkeley soal
pendapat doang. Terlepas, warna yang dimiliki orang. Karena, menurut saya,
walowpun maling, pasti ada omongannya yang benar juga. Jadi, ngapain
mempersoalken ‘warna’? Jadi, dengan munculnya tulisan itu, saya dipaksa untuk
membuktiken diri dulu, bahwa saya bukan ‘komunis.’ Baru setelah itu,
logisnya, orang mau dengar.

Ini artinya sama dengan tuntutan bahwa pendapat baru bisa diterima, kalow
‘cara-cara’ penyampaiannya benar atow ‘sosok penampilan’nya sopan dan jelas
masih keTimuran. Maka, dengan munculnya tulisan saya itu, gagal pulalah
impian saya. Sekaligus menyimpulken kepada saya beberapa konsekuensi tentang
‘kehidupan bermasyarakat.’

T: Setelah munculnya tulisan “Saya PKI atau Bukan PKI?!” ini, bagaimana
reaksi yang sampeyan terima?

J: Dari orang Konsulat justru saya tak mendengar apa-apa. Rupanya, mereka
rada kewalahan. Mau menuduh saya PKI, ya mana tahan? Yang kacow balow justru
reaksi dari anggota-anggota PPI sendiri (baek kawan maupun lawan) dan para
mantan pelarian dari Eropa Timur (baek yang di Berlin Barat, Jerman Barat dan
Blanda). Dari geng PPI saya ditanya, brapa orang yang sudah saya bunuh? Dari
geng mantan pelarian komunis, saya ada disemprot malah dicaci-maki. Yang
repot, ada kawan-kawan mertua yang ikut intervensi ke mertua

KILAS BALIK

T: Kalau mengingat kembali semua yang sudah anda alami sejak tahun 65 sampai
sekarang, apa yang sering anda renungkan? Dan menurut anda sendiri, pelajaran
apa yang bisa kita tarik dari pengalaman itu?

J: Kok sulit sekali pertanyaannya? “Sampai sekarang” itu maksudnya apa?
Sampai ‘interogasi’ yang anda ajuken ini? Itu ada dua pertanyaan, renungan
dan pelajaran. Saya jawabnya sekaligus saza.

Pertama, zaman itu cepat berubah. Yang dulunya jaya, cepat pula ambruknya.

Kedua, menurut saya pengalaman taon 65 itu buruk. Maka harapan saya adalah
supaya peristiwa begitu tak terulang kembali. Saya mengataken tak terulang
kembali, lantaran saya kuatir, bahwa kebijaksanaan Orde Baru saat ini bisa
mengantarken kita ke pengulangan peristiwa lampow. Sebab Orde Baru selama ini
tidak mendidik kita untuk berkehidupan masyarakat secara damai. Melaenken
kita dididik mempertajam instik dendam. Cara-cara penuntasan masalah misalnya
Tanjung Priok, Aceh, TimTim, Cina, Gereja, Petrus membikin saya kuatir.
Cara-cara ini tak ada bedanya dengan cara-cara penumpasan terhadap Gay-30S.
Dus, di bidang ini tak ada kemajuan.

Lantas, saya ambil kasus jaman Orla dulu. Ketika bokap diganyang PKI, kawan
maen bal-balan saya yang anggota IPPI, onderbouwnya PKI, menjauhi saya. Kalow
ditengok ke belakang, kelakuan ini apa bedanya dengan sekarang? Yaitu
mempersulit trah mereka-mereka yang dianggap ada terlibat Gay-30S? Dus, kalow
mau laen dari komunis yang ‘biadab’ itu, kita sewajarnyalah tidak memojokken
mereka. Cara-cara begini hanyalah mempertajam dendam belaka. Bukan “Mikul
dhuwur, mendhem jero,” itu dalil Eyang Presiden. Tapi misuh dhuwur, mendem
jeroane.

Orang Jerman, berusaha menanggulangi masa lampownya dengan cara
membongkar-bongkar dan mempelajari sejarah serta menarik konsekuensinya. Saya
sendiri tidak tahu, apakah cara-cara ini tepat diterapken di Indonesiana?
Apakah mengungkit luka lama dalam kondisi kita yang serba cepat beringas itu
— sementara tatanan masyarakatnya tak mengalami perubahan — bisa
menghindari peristiwa lama itu terulang kembali? Orang Jerman beruntung,
sebab dalam membongkar-bongkar luka lama, keadaan ekonominya bagus, tatanan
masyarakat pun berubah dan mendukung. Kemakmuran dan perubahan tatanan
masyarakat ini tokh membikin orang lebih tentram, dan berkepala dingin.

Agar peristiwa demikian dapat dihindari — misalnya kalow sebentar lagi Eyang
Presiden jatuh — napsu balas dendam terhadap dia dan kluwarga dan gengnya
harus dihindari. Bagaimanapun besarnya napsu kebencian terhadap Eyang
Presiden, namun mesti ada kebesaran hati, misalnya buat menahan diri. Tidak
mengulangi peristiwa Gay-30S. Kalow tidak begitu, kapan kita mengalami
perubahan atow kemajuan? Nah karena itu, mustilah dimulai dengan mencoba
tunduk kepada aturan maen.

Ketiga, dari pengalaman pribadi saya, menjadi pengkhianat atow penyanyi itu
gampang. Soalnya tak semua manusia itu brani. Karenanya, mohon diampunilah
para pengkhianat atow penyanyi atow intel. Yang penting adalah menciptaken
suatu sistem atow iklim yang tak memerluken penyanyi atow intel.

Keempat, Indonesia itu bukan hanya negara Bhineka Tunggal Ika, melaenkan
negara penuh dengan konflik. Saya rasakan itu sejak dalam keluarga saya
sendiri. Maklumlah, Indonesia kan sedang mengalami proses ‘das Werden.’
Karenanya kita mesti blajar menanggulangi konflik-konflik itu. Cuma saya ada
curiga, selama rejim sekarang berkuasa, sulitlah menjalanken proses ini.
Soalnya, legitimasi rejim sekarang kan konflik, demi kesatuan dan persatuan.

Kelima, sampai saat itu PKI adalah partai legal. Makanya, waktu itu tak ada
yang melarang orang-orang masuk PKI, seperti halnya saya masuk PNI. Maka,
kalow anggota dan simpatisan geng komunis bisa mbludak, pertanyaannya pun
musti dikembaliken, “Kok knapa bisa begitu?” Itu kalow memang tidak dimaui
komunis hidup. Maka, kalow tokh terbukti memberontak, musti dilalui prosedur
hukum. Bukan membunuhi anggotanya dulu, baru pembuktian kemudian. Kalow
ngomong siapa yang doyan brontak, ya Angkatan Darat pun demikian. Cuma
selalu dibilang ‘oknum.’

Keenem, kalow sejarah dimengerti sebagai perkembangan, maka menurut saya
semuanya juga punya andil dalam pembentukan Indonesiana. Perkembangan itu
bukannya perkembangan di dalam negeri, akan tetapi Indonesiana sebagai bagian
poleksosbud marcapada. Seperti kelakuan adikuasa, perang panas-dingin, dsb.
Indonesia sendiri terbentuk karena penjajahan Belanda, yang juga produk
kapitalisme dunia. Maka, ide-ide yang masuk ke tanah Indonesiana adalah
produk-produk perkembangan kapitalisme dunia. Itulah pasalnya, menurut saya,
komunismepun punya andil membentuk Indonesiana. Terlepas kita pro atow kontra
sama ideologi ‘haram jadah’ itu.

Bahken, menurut saya orang macam Kahar Muzakar atow Kartosuwiryo pun punya
andil. Bukan keinginan mereka berseparatis yang kita bedebah-bedebahin itu.
Melaenken kenapa kok bisa terjadi pemberontakan-pemberontakan itu?

Ketujuh, ideologi-ideologi yang masuk ke Indonesiana kayaknya resep-resep
yang sudah jadi, untuk mengusir penjajahan. Sedangken paham-paham itu sendiri
merupaken jawaban terhadap tantangan yang dihadapi oleh tatanan masyarakat
pada jamannya. Eropa untung, karena seiring dengan kelahiran paham-paham itu,
tatanan masyarakatnya juga berubah.

Sedangken di kita, ide-idenya mungkin ‘revolusioner.’ Cuma tatanan
masyarakatnya masih tatanan tradisional. Sehingga ide-ide itu seolah-olah
menjadi pengganti ikatan lama. Kalow dulu, kluwarga, suku, agama, teman, yang
menjadi ikatan geng, maka kini ide-ide itulah yang menjadi penggantinya. Saya
dikucilken oleh teman bal-balan saya, oleh karena bokap saya musuhnya PKI.
Komunis itu jadi geng, tapi bukan kumpulan persamaan ide, misalnya.

Udah dulu, ya!

T: Kok sudah? Ini semua penting kang! Tapi tentu kita ada terima kasih
(Habis).

2 pemikiran pada “Pipit Rochijat tentang Pembunuhan Massal ’65 (1)

  1. Salam ” gotong-royong”.
    Sejak 1984 kita berpisah, waktu itu masih Konjen, tembok Berlin masih kokoh. Setiap “gotong-royong” mau terbit, aku datang ke rumahmu. Kapan lagi ya… aku bisa duduk semeja berhadap2 an dng Bung Pipit menikmati secangkir Kopi? Ekonomi Negri Khayangan semakin terpuruk tnp penanganan yg tegas. Rakyat mencari upah sehari cukup untuk membeli sebungkus “uyah”. Rupanya petinggi negri hiruk pikuk tak tahu arah, membutakan mata dan menulikan telinganya pdhal rakyat pontang-panting “golek upo” sembari menahan lapar. Oke’lah…. ternyata perobahan itu abadi. Mungkinkah angin kemakmuran hanya angan2 sepanjang masa…?.

  2. artikelnya panjang dan lengkap pak, saya butuh informasi tentang pabrik gula di PAre, masih adakah? Saya ingin melacak sejarah, dulu kakek istri saya [orang Belanda] pengelola pabrik gula di sana. Terima kasih.

Tinggalkan Balasan ke ex.ketua ppi cabe. Batalkan balasan